Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Pengalaman Saya yang Pernah Menderita Difteri

Diperbarui: 17 Desember 2017   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Tempo.co

Sebelum menjadi heboh seperti sekarang ini bahkan menjadi wabah nasional, difteri bukanlah penyakit terkenal seperti jantung, diabetes, atau flu. Banyak orang tidak tahu apa itu difteri sehingga ketika saya bercerita pernah menderita difteri sebagian orang mengira itu penyakit langka. Saya menderita difteri jauh sebelum menjadi wabah nasional, tepatnya hampir 38 tahun lalu.

Saat itu saya baru akan memasuki sekolah dasar ketika difteri menyerang. Saya sendiri tidak terlalu ingat gejala awalnya, hanya memang terasa seperti flu dan demam. Ketika diperiksa ke dokter tampak selaput putih di tenggorokan sebagai pertanda penyakit difteri sudah menyerang. Saya pun dirujuk ke rumah sakit untuk dirawat selama sekitar 30 hari.

Penderitaan dimulai ketika masuk rumah sakit. Saya hanya bisa berbaring dan tidak bisa bergerak jauh dari ranjang, bahkan buang air kecil pun menggunakan pispot. Hal yang paling saya takutkan adalah ketika suster secara rutin setiap hari menyuntikkan obat ke pantat membuat saya sering berteriak kesakitan. Saya tidak mengerti kenapa harus disuntikkan setiap hari, bukan dengan ditelan seperti obat lainnya. Seolah dunia sudah hampir kiamat karena hari demi hari dilalui dengan jarum suntik tanpa kepastian akan berakhir.

Saat itu tentu belum ada laptop apalagi hape sehingga hanya Lego yang menemani saya bermain di atas ranjang. Sungguh membosankan sebulan penuh berada di atas ranjang tanpa ada hiburan selain menonton televisi. Akhirnya setelah 30 hari mendekam di rumah sakit, saya dinyatakan sembuh dan dapat kembali pulang.

Karena saya tidak masuk hampir selama 30 hari, saya dikeluarkan dari sekolah swasta yang sudah didaftarkan. Untungnya ada sekolah negeri yang kekurangan murid sehingga saya bisa masuk di tengah tanpa harus mengulang dari awal. Kalau tidak, saya harus menunggu setahun lagi untuk bisa masuk kelas.

Efek yang saya rasakan setelah sembuh dari penyakit difteri adalah fisik yang lemah, cepat lelah, dan jantung gampang sekali berdegup. Nilai olahraga tak pernah lebih dari 7 karena saya berlari lambat dan tak mampu menyelesaikan ujian dengan baik. Hanya ujian teori saja yang mendongkrak ke angka 7 karena jawabannya nyaris sempurna.

Dua puluh tahun kemudian saya menderita tifus akibat kelelahan menyelesaikan skripsi dan berburu lapangan kerja karena krisis moneter. Kata dokter akibat terlalu lelah dan kurang istirahat sehingga tubuh langsung drop karena kurang makan. Entah ada hubungan atau tidak, yang pasti saya memang tidak boleh terlalu lelah sehingga berakibat tifus.

Setelah menyadari kelemahan saya yang pernah menderita penyakit berat, saya berusaha untuk menjaga tubuh dengan lebih banyak beristirahat ketika tubuh mulai lelah. Saya tidak memaksakan diri mengejar target walau terkadang harus menerima teguran dari pimpinan. Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik istirahat sejenak daripada memaksakan diri.

Alhamdulillah hampir sepuluh tahun belakangan ini saya nyaris tidak pernah berobat ke dokter. Terakhir ke dokter karena penyakit kembung, lagi-lagi akibat terlalu lelah dan kurang makan. Setelah itu saya berusaha untuk makan setiap lapar dan menghindari obat-obatan. Paling mentok saya hanya minum obat masuk angin saja kalau perut mulai kembung. Selebihnya istirahat dengan tidur lelap seharian penuh dan mengosongkan pikiran agar tidak menambah beban tubuh. Ingat, beban pikiran menyumbang hampir 80% dari penyakit.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline