Sebagai travellers dan bikers, saya merupakan pelanggan tetap BBM produksi Pertamina baik untuk pemakaian sehari-hari maupun travelling. Dulu sebelum tahun 2014, saya merupakan pengguna Premium karena harganya murah dan termasuk enggan menggunakan BBM non subsidi kecuali terpaksa. Disparitas harga BBM subsidi dan non subsidi membuat saya tetap bertahan menggunakan BBM subsidi walaupun dengan resiko pengurangan umur mesin kendaraan.
Di samping itu saya juga termasuk orang yang sering melakukan perjalanan dinas ke luar Jawa, mulai dari Sabang sampai Merauke dengan intensitas yang cukup tinggi. Problem utama saat perjalanan darat sebelum tahun 2014 adalah mengularnya antrean bahan bakar. Untuk premium saja paling cepat setengah hingga satu jam antrean. Paling parah antrean solar bisa sehari semalam truk-truk parkir. BBM non subsidi juga tidak tersedia di semua SPBU di luar Jawa, sehingga mau tidak mau harus menggunakan premium. Lagipula saat itu harga BBM non subsidi relatif mahal untuk melakukan perjalanan jauh sehingga harus menambah biaya perjalanan dinas.
Sebagai pengguna Premium saat perjalanan dinas, saya sering beli bensin eceran untuk menghindari panjangnya antrean. Resikonya memang cukup besar karena ditengarai ada beberapa pengecer yang mengoplos bensin dengan minyak tanah atau bahan lainnya. Umur mesin kendaraan berpotensi berkurang karena menggunakan bahan bakar oplosan. Namun apa boleh buat mengingat waktu bagi saya sangat berharga karena harus menyelesaikan tugas sebelum matahari terbenam.
Antri menjadi sebuah ritual tersendiri terutama saat menjelang pengumuman kenaikan BBM subsidi. Apalagi sempat terjadi dua kali kenaikan harga yang luar biasa dari Rp 2400 menjadi Rp 4500 tahun 2005 dan kenaikan dari Rp 4500 ke Rp 6500 tahun 2013 serta dari Rp 6500 ke Rp 8500 tahun 2014.
Walau sebenarnya hanya berhemat untuk dua tiga hari pemakaian, tetap saja orang berburu bensin ke SPBU saat pengumuman kenaikan harga yang biasa diumumkan pada malam hari. Disparitas harga yang tinggi menyebabkan konsumsi BBM non subsidi relatif rendah, dan BBM subsidi menjadi barang selundupan karena harganya sangat murah.
Disparitas harga yang terlalu jauh antara BBM subsidi dengan non subsidi menyebabkan konsumen lebih memilih BBM dengan harga yang lebih murah. Sebagai gambaran harga premium tahun 2013 Rp 6500, pada saat bersamaan harga pertamax berkisar di angka Rp 10.000 -- 11.000 per liter. Disparitasnya mencapai Rp 3500 -- 4500 per liter.
Pergantian pemerintahan berdampak pada perubahan kebijakan di bidang perminyakan termasuk penentuan harga BBM. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi disparitas harga yang semakin melebar antara BBM subsidi dengan BBM non subsidi, mengingat besarnya subsidi tentu sangat membebani keuangan negara di tengah naiknya harga minyak saat itu.
Untuk mengurangi disparitas pada menjelang akhir tahun 2014 harga premium dinaikkan menjadi Rp 8500 per liter. Walau sempat menimbulkan gejolak inflasi, namun kenaikan tersebut akhirnya dapat diterima masyarakat karena disadari bahwa dana subsidi BBM lebih bermanfaat untuk digunakan membangun infrastruktur.
Namun demikian disparitas antara BBM subsidi dan non subsidi masih tetap tinggi, rata-rata sekitar Rp 2000 -- 3000 per liter. Untuk itu Pertamina kembali melakukan inovasi dengan meluncurkan produk Pertalite pada bulan Juli 2015 dengan harga Rp 8400 di saat harga Premium Rp 7300 dan harga pertamax Rp 9300 per liter. Disparitas mulai berkurang, dan pengguna BBM subsidi mulai beralih ke non subsidi. Apalagi pada tahun 2016 lalu harga BBM non subsidi nyaris mendekati harga BBM subsidi, ketika harga Pertalite menyentuh angka Rp 6900 per liter dan Pertamax Rp 7250 per liter.
Sebagai traveller, saya merasakan perbedaan yang signifikan antara penggunaan Pertalite dengan Premium. Saat menggunakan premium motor saya mengonsumsi sekitar 27-30 Km per liter. Begitu beralih ke Pertalite, konsumsi motor saya menjadi rata-rata 40 Km per liter. Demikian pula dengan mobil, saat menggunakan premium rata-rata sekitar 11-12 Km per liter. Ketika berganti dengan Pertalite konsumsi menjadi 13-14 Km per liter. Memang tidak terlalu jauh perbedaannya, namun terasa pada saat memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, pengapiannya lebih halus ketimbang Premium.
Oleh karena itu, ke depan saya berharap Pertamina lebih serius mengembangkan produk Pertalite serta distribusinya juga diperluas menjangkau seluruh Indonesia. Ini penting agar tidak ada lagi antrean BBM yang masih terjadi di beberapa daerah di luar Jawa.