Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Transportasi Daring (Online) yang Semakin Pilah-pilih Penumpang

Diperbarui: 2 Februari 2017   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: mediatique.io

Awalnya transportasi daring merupakan alternatif paling murah dan efisien untuk mengantar penumpang dibanding moda transportasi umum lain baik resmi (taksi) maupun tak resmi (ojek, taksi gelap seperti di bandara) dengan daya jangkau cukup luas. Sebagai konsumen, awalnya saya merasa nyaman karena bisa diantar kemana saja, kapan saja, dengan harga jauh lebih murah. Walau banyak menuai protes, nyatanya mereka tetap jalan terus, bahkan semakin menggurita jumlahnya.

Namun lama kelamaan, pengemudi baik roda dua maupun roda empat semakin pintar dan selektif memilih pelanggan. Walau sebagian aplikasi melarang pengemudi memiliki lebih dari satu aplikasi, nyatanya mereka bisa memiliki dua atau lebih aplikasi sekaligus dengan nomor ponsel (dan kadang nama) berbeda. 

Dengan tujuan yang sama, pengemudi bisa memilih tarif yang lebih mahal dibanding aplikasi saingan yang tarifnya jauh lebih murah. Alasannya karena penggantian biaya promosi tersebut relatif lama. Pengemudi juga lebih senang yang memilih bayar cash daripada kartu kredit atau skema online lainnya karena waktu penebusan juga relatif lama.

Mengenai tujuanpun, pengemudi sekarang bisa memilih konsumen yang tujuannya tidak terlalu jauh atau jalan yang ditempuh relatif lancar, tidak terlalu macet atau padat. Walau recehan, asal sering jarak pendek lebih menguntungkan ketimbang jarak sedang atau jauh (terutama roda dua) karena biar kata tarifnya mahal, mereka takut di tempat tujuan dapat konsumen ke arah tujuan yang lebih jauh lagi. Pengalaman ojek daring dari Bogor ketika mengantar konsumen ke Bojonggede, dari situ dapat penumpang ke Depok, lalu dari Depok dapat penumpang lagi ke Cilandak. Ujung-ujungnya dia matikan aplikasi agar bisa kembali lagi ke Bogor.

Sebagai konsumen, saya sering kesal ketika memesan transportasi daring dari rumah di Ciledug ke bandara, tidak ada yang mengambil aplikasi 'A' karena sedang promo alias tarifnya murah. Baru ketika beralih ke aplikasi 'B' yang tarifnya hampir dua kali lipat, langsung ditangkap oleh pengemudi yang kebetulan lewat dekat rumah. 

Begitu pula ketika memesan ojek online dari Plaza Semanggi ke Ciledug, tidak ada yang menyahut. Padahal di depan mata ada beberapa pengemudi ojek online sedang nangkring, gak mungkin dong mereka tidak menerima sinyal dari saya. Akhirnya saya naik taksi biru yang tidak pernah memilih konsumen walau tarifnya mahal. Tapi kalau dari kantor di Blok M ke Sudirman, ojek online seperti berebut sinyal mengambil penumpang.

Dari beberapa pengalaman seperti diceritakan di atas, keberadaan transportasi daring atau ojek online ternyata tidak selalu menguntungkan buat konsumen. Murah belum tentu mudah diperoleh. Malah transportasi konvensional (taksi atau ojek pangkalan) lebih fleksibel dan bersedia mengantar kemana saja, tentu dengan tarif yang jauh lebih mahal. 

Padahal persaingan sesama pengemudi transportasi daring semakin ketat karena saat ini mulai over supply sehingga banyak yang mulai membentuk pangkalan sendiri terutama ojek online di tempat-tempat keramaian. Transportasi daring telah menjadi gantungan hidup, bukan lagi sekedar memanfaatkan kendaraan pribadi yang menganggur atau tidak produktif. Akibatnya mereka harus lebih selektif memilih konsumen yang menguntungkan, bukan lagi sekedar asal terisi bensin saat ke kantor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline