Papua terkenal dengan gugusan pulau-pulau yang indah dan pantainya yang masih alami. Di lepas pantai Sorong sendiri banyak terdapat pulau-pulau kecil seperti pulau Doom, pulau Soop, pulau Raam, pulau Dofior, dan pulau Buaya yang memang bentuknya seperti buaya. Dibanding pulau yang lain, letak pulau Buaya sedikit agak jauh ke utara, sekitar 10 menit saja waktu tempuhnya dari pelabuhan speed di Sorong. Walau bentuknya seperti buaya, namun bila sudah dekat nampak sekali keindahan pantainya.
Pulau Buaya bisa menjadi alternatif berwisata di Sorong bila tak sempat menyeberang ke Raja Ampat. Kita bisa menyewa speed atau ikut kapal biasa yang menunggu penumpang hingga penuh. Ukuran pulaunya sendiri tidak terlalu luas dan disini terdapat perkampungan yang dihuni oleh suku Biak dan suku Buton yang hidup berdampingan sebagai nelayan. Selebihnya adalah hutan pohon kelapa yang memayungi pulau dari hawa panas mentari.
Pantainya sendiri masih tampak alami, hanya ada beberapa gubuk tempat bersantai sambil minum kelapa asli yang dipetik langsung dari pohon yang bertebaran. Belum tampak sentuhan pemerintah atau swasta untuk mempercantik pulau ini. Di sebuah sudut tampak kafe yang tutup karena kebetulan saya berkunjung bukan pada hari libur. Pulau ini sendiri baru ramai pada hari Sabtu dan Minggu atau hari libur, selebihnya sunyi senyap, hanya aktivitas penduduk setempat saja yang menghidupkan pulau.
Sayangnya, lagi-lagi kebersihan masih menjadi kebutuhan nomor sekian dari masyarakat kita. Sampah botol minuman dan makanan masih terserak di sana sini, hampir tidak ada orang yang mau membersihkannya. Letak pantai wisatanya memang agak jauh dari perkampungan, sehingga hampir tidak ada orang yang memperhatikan kebersihan di sana. Hanya ada seorang penjaga yang berkeliling dengan anjingnya dan menagih biaya masuk pulau bagi pengunjung yang kepergok olehnya.
Di perkampungan sendiri kita bisa membeli cendera mata hasil laut seperti karang dengan berbagai bentuk, penutup mutiara, bahkan pohon anggrek juga dijual disini. Ada pengumuman agar para pengunjung berbagi rezeki dengan membeli buah tangan khas pulau tersebut. Namun sayangnya saat kami berkunjung tidak ada penjualnya, hanya pajangan karang di depan halaman rumah saja terpampang.
Tak terasa hari sudah hampir petang ketika kami meninggalkan pulau ini. Sebenarnya masih ingin menunggu sunset, tapi karena cuaca dan angin semakin kencang, membuat pengemudi speed tidak berani spekulasi mengantar kami setelah mentari terbenam. Selain gelap, ombak semakin besar tidak menjamin keamanan berlayar menyeberang pulau. Kurang puas memang, tapi itulah yang bisa dilakukan, keselamatan lebih utama daripada sekedar menikmati keindahan alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H