Jauh sebelum British Exit from European Union atau Uni Eropa, mereka sudah terlebih dahulu meninggalkan Indonesia, tepatnya Bengkulu pada tahun 1825 sesaat sebelum pecah Perang Diponegoro. Demi memuluskan penguasaan Selat Malaka serta menyatukan daerah jajahan di semenanjung Malaya, Inggris rela menukar Bengkulu dengan Malaka dan Singapura yang dikuasai oleh Belanda melalui Traktat London atau Anglo-Dutch Treaty yang ditandatangani bulan April 1824. Letak Bengkulu yang dianggap tidak strategis karena bukan menjadi perlintasan jalur perdagangan dunia, serta Belanda yang mulai menguasai pulau Sumatera menyebabkan Inggris buru-buru memutuskan untuk hengkang dari Bengkulu setelah perang Napoleon usai.
Namun demikian, Inggris meninggalkan benteng Fort Marlborough yang megah sebagai pertanda kehadiran mereka selama 140 tahun sejak 1685 Masehi, dan monumen Thomas Parr untuk mengenang sang Residen yang tewas dibunuh penduduk setempat tahun 1809 dan dimakamkan di area benteng. Benteng ini cukup unik karena pernah menjadi markas tentara dari empat negara, yaitu Inggris, Perancis, Belanda, dan Jepang sebelum menjadi markas Kodim, dan terakhir menjadi cagar budaya yang dilestarikan.
Uniknya lagi, benteng ini juga tidak pernah mengalami pertempuran besar, namun justru penyakit malarialah yang menjadi musuh besar tentara Inggris disini. Lebih dari 1500 orang prajurit meninggal dan dimakamkan di Bengkulu karena terjangkit malaria. Karena itu alasan itu pula Inggris memilih untuk segera berpindah dari Bengkulu. Tokoh Inggris terkenal yang pernah memerintah Bengkulu adalah Sir Stamford Raffles setelah menjadi Gubernur Jenderal di Jawa, dan kemudian menjadi Gubernul Jenderal di Singapura usai penandatanganan perjanjian London 1824.
Selain Inggris, pendiri sekaligus bapak bangsa kita Ir. Soekarno juga memiliki kenangan indah saat diasingkan ke Bengkulu. Disinilah beliau bertemu ibu Fatmawati yang menjadi ibu negara pertama, dan merupakan ibu kandung dari presiden ke-5 RI Megawati Soekarno Putri. Rumah tempat tinggal Bung Karno masih terawat baik dan menjadi musium yang menyimpang berbagai peninggalan beliau seperti sepeda, tempat tidur, dan meja kerja serta buku-buku bacaan beliau. Tak jauh dari rumah pengasingan, beda satu jalan terletak rumah orang tua ibu Fatmawati yang juga berubah fungsi menjadi musium.
Bengkulu juga memiliki obyek wisata alam bernama Danau Dendam Tak Sudah yang terletak di tepi jalan arah ke timur kota. Ada dua versi mengenai nama tersebut, pertama ketika Belanda hendak membuat Dam namun tak kunjung selesai, sehingga disebut De Dam Tak Sudah yang dipelesetkan menjadi Dendam Tak Sudah. Versi lain adalah ketika sang Pangeran ditolak lamarannya oleh seorang putri, sehingga Pangeranpun menyimpan dendam yang dilampiaskan di danau tersebut. Namun sepertinya versi pertamalah yang mendekati kebenaran, Wallahu A'lam.
Kemudian Pantai Panjang yang terkenal karena pernah menjadi saksi bisu tewasnya seorang tersangka oleh oknum petugas yang baru diungkit sepuluh tahun kemudian kala yang bersangkutan pindah tugas ke KPK. Sayangnya pantai ini kondisinya tidak terlalu bersih dan cenderung kurang terawat sehingga tidak nyaman buat wisatawan untuk bersantai di sini. Ombaknya juga cukup tinggi karena berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia sehingga berbahaya untuk berenang di area tersebut.
Jadi buat para pemudik yang melitasi atau memang hendak ke Bengkulu, mampirlah sejenak ke berbagai obyek wisata tersebut. Saya sendiri hanya memerlukan waktu tak sampai sehari untuk mengelilingi semua obyek wisata tersebut sambil ngabuburit menanti azan maghrib dan berbuka puasa di sebuah restoran di tepi pantai. Malamnya tak lupa mampir shalat tarawih di Masjid Jamik Bengkulu yang pernah direnovasi oleh Bung Karno saat dalam pengasingan.
Disini juga terdapat Masjid Taqwa yang merupakan Blue Mosque-nya Bengkulu. Bentuk atapnya mirip dengan masjid ternama di Istanbul tersebut, hanya warnanya saja putih. Terakhir sebelum pulang saya sempatkan mampir ke alun-alun Taman Merdeka dimana terdapat View Tower yaitu menara setinggi 43 meter yang digunakan untuk memantau tsunami dan memandang keliling kota Bengkulu dari puncak. Sayangnya lift nya tidak bisa digunakan sehingga saya hanya bisa memotretnya saja dari bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H