Danau Toba dan Pulau Samosir memang tidak habis-habisnya menghadirkan keindahan alam dan budayanya. Tidak hanya birunya air dan rumah adatnya yang masih terpelihara dengan baik, tapi juga mewahnya rumah masa depan turut mewarnai indahnya wisata di wilayah tersebut. Saya sendiri cukup kaget bercampur kagum kala menyaksikan bagaimana masyarakat adat Toba begitu menghargai leluhurnya yang telah mendahului mereka dengan membangunkan tempat peristirahatan terakhir yang sangat indah dan nyaman.
Perjalanan sendiri dimulai dari Sidikalang menuju Toba melalui Pangururan, satu-satunya tempat menyatunya Pulau Samosir dengan daratan Sumatera. Kondisi jalan relatif baik walaupun masih tambal sulam di sana sini. Sepertinya gaung Toba menjadi destinasi utama wisata belum terlalu berpengaruh terhadap pembangunan infrastrukturnya, walau kondisi saat ini jauh lebih baik daripada beberapa tahun lalu ketika masih banyak lubang berserakan di jalan.
Tak sampai satu setengah jam, kami berhenti sejenak di Tele, sebuah menara pandang yang memungkinkan kita memandang sisi barat Danau Toba dan Pulau Samosir. Sayangnya, bangunan berbentuk rumah adat yang ada di depan menara cukup mengganggu pengambilan gambar karena fokusnya lebih ke arah bangunan tersebut ketimbang pemandangan danaunya itu sendiri. Selain itu gunung di sebelah kiri menara sekilas juga menghalangi pemandangan, namun bila dicermati lebih jauh akan tampak perpaduan serasi antara warna hijau gunung dan birunya danau.
Perjalanan lanjut ke Pangururan, suatu tempat di mana kita bisa menyeberang pulau Samosir melalui sebuah jembatan penghubung saja. Dari perempatan kami berbelok ke kiri, dan mulai tampak pemandangan rumah tradisional Toba di sepanjang perjalanan menyusuri pulau. Sebagian besar rumah tradisional tidak lagi beratapkan rumbia, melainkan seng yang dimodifikasi sesuai dengan bentuk atap yang mirip dengan rumah adat Toraja. Namun yang menarik justru di sela-sela rumah adat tersebut terdapat makam dengan model bangunan yang cukup megah dan bervariasi.
Cukup aneh bila melihat di sini rumah masa depan tampak lebih mewah dan megah dibanding rumah yang ditempati warga yang masih hidup. Bahkan di kompleks kuburan pun tampak bangunan makam berlomba menampakkan kemewahannya dan rata-rata bangunannya lebih dari satu tingkat.
Jadi warga yang meninggal tidak dikubur, melainkan diletakkan dalam lorong-lorong kamar yang dibangun dalam bangunan tersebut, mirip seperti Toraja, hanya bila di Toraja diletakkan di dalam lorong kamar di sisi tegak perbukitan. Satu tingkat bisa memuat 5-10 peti, semakin ke atas semakin sedikit sehingga membentuk piramida kecil. Mungkin semakin ke atas semakin tua usia makamnya.
Kami mampir sejenak di pantai pasir putih Parbaba sebelum melanjutkan perjalanan menuju Tomok. Selain pantai, di sini juga terdapat dermaga penyeberangan orang Parbaba. Kondisinya tidak terlalu bersih, masih nampak sampah di perairan danau, namun airnya masih tampak biru walaupun agak kotor di tepi pantai. Tampak jelas batas kedalaman air, di mana warna biru tua menunjukkan bagian terdalam danau sementara biru muda berarti dangkal.
Setelah pasir putih, kami mampir di Musium Huta Bolon Simanindo. Sayang kondisi bangunannya tampak tidak terawat, dan mulai muncul tumbuhan di sela-sela atap rumbia. Di depan bangunan adat terdapat makam raja-raja Toba yang justru tampak terawat dengan baik. Sayangnya tak tampak satupun penjaga musEum di sore hari sehingga kami agak kebingungan mencari informasi.
Akhirnya setelah berfoto-foto di pantai dan sekitar museum, kami lanjutkan perjalanan menuju Tuktuk. Di sini rupanya bertabur aneka akomodasi mulai dari hotel hingga guest house. Jadi kalau hendak menginap di Samosir, di sinilah tempatnya.
Sayang lagi-lagi sayang, seluruh pantainya telah diokupasi bangunan akomodasi sehingga sulit bagi kami untuk berhenti sejenak menikmati indahnya pantai. Akhirnya kami hanya berputar melintasi Tuktuk kemudian langsung menuju Tomok untuk mengantri kapal feri menuju Parapat.
Menjelang maghrib kami tiba di Tomok dan mobil langsung mengantre di depan pelabuhan, karena untuk jam tersebut sudah penuh sehingga harus menunggu kapal berikutnya. Karena mentari sudah mulai tenggelam, kami tidak sempat mampir ke makam Tua Raja Sidabutar dan perkampungan tua Tomok. Sambil menunggu kapal feri kami berbuka puasa di warung muslim yang terdapat di depan pelabuhan.
Selesai sudah perjalanan mengelilingi Danau Toba dan sebagian Pulau Samosir. Sepertinya belum terlihat tanda-tanda pembangunan infrastruktur besar-besaran sebagai tindak lanjut kunjungan Pak Jokowi ke Danau Toba, padahal wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus berbasis pariwisata. Semoga pemerintah setempat segera menyadari dan mulai membangun wilayahnya agar menjadi destinasi wisata yang layak untuk dikunjungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H