Danau Maninjau dan Kelok Ampek-Ampek merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dari arah Bukittinggi, kita harus melewati 44 kelokan sebelum tiba di tepi Danau Maninjau. Namun tak perlu sampai ke bawah untuk menikmati indahnya Danau Maninjau, karena birunya air telah tampak bahkan sejak dari puncak bukit dimana titik terakhir dari kelok 44 dipancangkan. Bukittinggi sendiri juga menyimpan sejuta obyek wisata mulai dari jam Gadang hingga gua Jepang, tak lupa mampir di Pical Sikai menikmati gado-gado khas Bukittinggi.
Saya memulai perjalanan dari Bukittinggi menuju Pasaman Barat melalui kelok 44 karena katanya lebih indah pemandangannya daripada melalui jalur lain. Benar juga, begitu keluar dari batas kota, nuansa hijau mulai tampak di depan mata. Pemandangan Gunung Singgalang yang masih termasuk dalam rangkaian Bukit Barisan membuat mata menjadi segar setelah sumpek melihat kepenatan kota. Udara dingin juga mulai menyusup membuat AC menjadi tak berguna karena segar dan relatif bersih dibanding udara kota. Sayang lebar jalan cukup sempit sehingga terkadang membuat mobil terpaksa menepi bila berpapasan dengan truk tigaperempat atau bis kecil.
Tak sampai satu jam saya tiba di patok terakhir kelok 44, sayup-sayup birunya Maninjau mulai tampak dari kejauhan. Sampai di patok 43, kendaraan menepi sejenak di sebuah warung yang terletak di bibir jurang. Disinilah rupanya pemandangan terindah birunya Danau Maninjau dipadu dengan hijaunya perbukitan tampak terang benderang. Tak menyesal duduk berlama-lama sambil ngopi disini dan berselfie ria, karena memang benar-benar alami pemandangan di seberang sana, apalagi di pagi hari manakala mentari tepat menyinari sisi barat danau.
Cukuplah setengah jam istirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Selepas patok 43, satu demi satu kelokan kami lalui dengan penuh ketegangan. Betapa tidak, sempitnya lebar jalan serta licin ditambah curamnya turunan di beberapa titik membuat hati deg-degan, takut kebablasan meluncur bebas tanpa kendali. Benar saja, sebuah motor yang mencoba menyalip kami selepas tikungan tergelincir dan nyaris dihajar elf dari arah berlawanan. Untungnya posisi elf sedang menanjak sehingga kecepatan tidak terlalu tinggi dan sopir masih sempat merem kendaraannya. Supir elf segera turun dari mobil dan dengan sigap menepikan korban dan kendaraannya, dibantu oleh pengendara lain yang berhenti untuk membantu menolong.
Ketegangan mulai cair setelah patok kelok 1 terlewati, jalanan kembali lurus menuju ke arah pintu masuk Danau Maninjau. Mengingat terbatasnya waktu, saya tidak sempat masuk ke dalam, tapi langsung belok kanan menyusuri sisi danau yang tak kalah indah pemandangannya. Tampak padi mulai menguning dan siap dipanen menjadi beras. Sementara di ujung danau terdapat keramba ikan air tawar yang dipelihara oleh penduduk lokal, dan PLTA Maninjau yang masih berfungsi memasok listrik dengan tenaga air. Sungguh sebuah perpaduan menarik antara obyek wisata, pengairan, perikanan, dan energi dalam satu wadah berupa Danau Maninjau.
Selain Danau Toba, saya merekomendasikan Danau Maninjau beserta Danau SIngkarak untuk dikembangkan menjadi obyek wisata unggulan karena potensi pemandangan alamnya sangat indah, dan sudah ada infrastruktur dasar berupa jalan dan rel kereta api (khusus Singkarak). Tinggal melebarkan dan meningkatkan kapasitas jalan, mengaktifkan kembali rel kereta api (Singkarak). serta menata ruang publik dan meningkatkan layanan transportasi, mengingat sekarang ini hanya mengandalkan elf atau bus kecil untuk menuju kesana bila tidak menyewa kendaraan sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H