Kali ini saya mengunjungi kampung halaman Pak Tjiptadinata di Sumatera Barat, tepatnya Danau Singkarak yang terletak di Kabupaten Solok dan Tanah Datar. Danau Singkarak merupakan salah satu danau terbesar di Sumatera setelah Danau Toba. Saking luasnya, penduduk setempat menganggapnya sebagai laut yang tawar airnya. Danau ini juga menjadi lokasi event balap sepeda Tour de Singkarak yang diselenggarakan setiap tahun untuk menarik wisatawan berkunjung ke sini. Sayapun tidak melewatkan waktu untuk berkunjung ke sana, sekaligus penasaran dengan kereta api yang katanya melintasi danau.
Namun keinginan untuk menaiki kereta api melintasi danau sirna setelah jalur tersebut baru saja ditutup tahun 2014 karena merugi. Terpaksa saya menggunakan kendaraan sewa untuk mengantar keliling danau. Perjalanan dimulai dari Padang siang hari dan tiba di Singkarak sekitar pukul tiga sore. Sepanjang perjalanan melalui Kabupaten dan Kota Solok, tampak hamparan padi menghijau tanda siap panen beras Solok yang terkenal itu. Di sela-sela sawah terdapat perkampungan yang masih memelihara bangunan rumah gadang dengan baik secara mandiri.
Tiba di tepian danau, saya langsung mengambil beberapa foto dengan pemandangan indah yang menakjubkan. Air danau yang berwarna biru menjadi cermin bagi perbukitan dan bangunan yang berdiri di sisinya. Benar-benar cermin karena tenangnya ombak dan berkilaunya cahaya membuat danau menjadi elok dipandang mata. Saking jernihnya air danau, perahu tenggelampun masih tampak dari permukaan, selain tentunya ikan-ikan berseliweran di bawahnya. Teriknya sinar mentari membuat suhu udara meningkat dan air danau menghangat serta tubuh berkeringat.
Setelah bersantai sejenak, saya melanjutkan perjalanan menyusuri sebelah timur danau. Sepanjang perjalanan tampak jelas rel kereta api sejajar dengan jalan raya, persis berada di tepian danau. Alangkah indahnya bila kereta apinya masih beroperasi, kita bisa dengan jelas memandang danau tanpa batas. Sayangnya rel kereta api sudah mulai ditumbuhi ilalang yang bila tak segera dibersihkan bakal menutupi seluruh rel yang berakibat kereta tak dapat melintas lagi. Sebenarnya sejak tahun 2009 kereta api wisata mulai dioperasikan kembali oleh PT. KAI pada hari Sabtu, Minggu, dan libur nasional. Namun karena alasan merugi, kereta api hanya akan berjalan bila ada pihak yang mau menyewa pada event tertentu saja. Seharusnya pemerintah memberikan subsidi dan promosi yang gencar agak kereta ini dapat dihidupkan kembali.
Tak terasa satu jam melintasi sisi timur Danau Singkarak, tibalah di ujung danau dan kami berbelok ke kanan menuju Batusangkar dimana terdapat Istana Pagaruyung yang terkenal itu. Namun yang kita lihat sekarang ini hanyalah replika bangunan yang beberapa kali pernah terbakar, terakhir tahun 2007 lalu. Menjelang istana, kita bisa berhenti sejenak di sebuah situs bersejarah peninggalan kerajaan Pagaruyung berupa batu tulis dan peralatan dari batu lainnya semasa Raja Adityawarman memerintah. Di sekitarnya terdapat perkampungan yang masih mempertahankan rumah adat walau dalam bentuk yang lebih kecil menyesuaikan luas tanahnya.
Replika Istana Pagaruyung saat ini menjadi museum yang menyimpan berbagai peninggalan budaya khas Sumatera Barat seperti pakaian adat, keris, dan benda-benda bersejarah lainnya. Kita juga bisa memandang sekeliling istana dari lantai atas yang memiliki jendela yang terdapat di setiap sudut bangunan. Sayangnya museum akan segera tutup pukul lima sore sehingga saya buru-buru keluar museum untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Padang. Selesai sudah perjalanan setengah hari mengitari Danau Singkarak dan mampir ke Istana Pagaruyung. Tak lupa mampir di Padang Panjang untuk menikmati Sate Padangnya yang terkenal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H