Bertandang ke Mamuju merupakan sebuah tantangan tersendiri karena hanya satu penerbangan sehari dari Makassar dan selalu saja penuh atau masuk daftar tunggu. Daripada tertunda, kami putuskan untuk menggunakan jalan darat dari Makassar melalui Parepare, Polman dan Majene. Kondisi jalan relatif mulus dan dua lajur dari Makassar ke Parepare, lalu menyempit hingga Mamuju. Namun pemandangan pantainya, terutama setelah memasuki provinsi Sulawesi Barat cukup indah sehingga tidak terlalu membosankan di perjalanan. Berangkat pukul 9 pagi, tiba di Mamuju hampir pukul 9 malam alias 12 jam perjalanan yang cukup santai namun mengeraskan pinggang. Siangnya setelah urusan dinas selesai, kami jalan-jalan keliling kota Mamuju, dan menemukan sebuah kompleks museum di tepi jalan raya pantai utara Mamuju.
Sebagai provinsi yang baru terbentuk saat reformasi, Sulawesi Barat juga tak kalah dengan provinsi lain yang memiliki Pesona Indonesia dalam bentuk rumah adat. Kompleks Rumah Adat Mamuju terletak di pusat kota di tepi pantai utara, tepat di depan jalan utama kota Mamuju. Saat bertandang ke kompleks tersebut, kebetulan sedang ada latihan tarian adat Sulawesi Barat untuk acara pentas seni, jadi suasananya cukup ramai. Masuknya cukup murah, hanya membayar 2000 Rupiah saja sebagai retribusi kepada Pemda Kabupaten Mamuju. Sayangnya, tidak ada tempat parkir khusus kendaraan bermotor roda dua, sehingga para pengunjung seenaknya saja memarkirkan kendaraannya di bawah rumah adat yang berupa rumah panggung.
Kompleks rumah adat sendiri terdiri atas rumah raja dan rumah utama dibelakangnya yang disambung dengan jembatan kecil, rumah pengawal, beberapa gubuk untuk pandai besi, pandai emas, lumbung padi, kandang rusa, dan kandang kuda. Kondisi bangunannya cukup terawat, sayangnya di dalamnya tidak terdapat pajangan apapun alias kosong melompong. Rupanya bangunan ini pernah menjadi kantor KPUD setempat, jadi belum sempat ditata kembali menjadi sebuah museum. Bangunannya sendiri sangat tipikal Indonesia di luar Jawa, yaitu rumah panggung dengan atap runcing dan terbuat dari kayu. Tidak ada model khusus seperti di Toraja atau Minang, namun bangunannya tampak cukup kokoh dan tegar diterpa angin. Tidak ada pula ornamen-ornamen khusus yang menggambarkan kekhasan daerah Sulawesi Barat, hanya sedikit ukiran penghias bangunan di sekelilingnya.
Bangunan lain seperti kandang rusa dan kuda, serta pandai emas dan pandai besi hanya berupa saung terbuka yang dipagari oleh kayu. Sekilas memang tidak terlalu istimewa dan lebih tampak sebagai miniatur bangunan aslinya, namun demikian kompleks rumah adat tersebut tetap layak untuk dilestarikan dan menjadi Pesona Indonesia di Provinsi Sulawesi Barat. Tinggal menata kembali kompleks museum menjadi lebih tertib, terutama parkiran, dan alur orang berjalan kaki. Kemudian di dalamnya diisi dengan benda-benda tradisional khas Sulawesi Barat, termasuk busana kerajaan, ranjang, tungku, lemari, dan sebagainya.
Setelah berkeliling-keliling kompleks rumah adat selama hampir satu jam dan berfoto bersama para penari, kami putuskan kembali ke Makassar melalui jalan darat sebagaimana kami berangkat kemarin. Lumayan juga hampir 8 jam di perjalanan dengan menggunakan kendaraan sewaan, namun puas sudah sampai di provinsi termuda sebelum Kaltara. Kami berharap semoga Kementerian Pariwisata turut serta merenovasi serta meningkatkan kualitas bangunan beserta isinya agar dapat menjadi salah satu obyek wisata di wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H