Vietnam menjadi negara ASEAN ke-9 yang saya kunjungi saat libur panjang April lalu. Setelah transit semalaman di KLIA2, pesawat AA yang saya tumpangi mendarat di Bandara Internasional Tan Son Nhat, Ho Chi Minh City (dahulu bernama Saigon). Ukuran bandaranya sekelas Juanda Surabaya, tidak terlalu besar namun cukup untuk menampung lalu lintas penerbangan domestik maupun internasional. Pemeriksaan imigrasi berlangsung lancar tanpa ada pertanyaan sedikitpun, cuma melihat sekilas wajah petugas langsung percaya. Keluar dari bandara, saya langsung cari bus menuju Pham Ngu Lao, pusat kota Ho Chi Minh yang merupakan tempat nangkringnya turis asing seperti jalan Jaksa di Jakarta. Namun karena pecahan Dong-nya paling kecil 100.000, terpaksa saya tukar dengan sarapan pagi di sudut luar bandara dekat tempat ngetemnya bus.
Selesai sarapan, rupanya bus yang tadi ngetem sudah berangkat sehingga saya harus menunggu datangnya bus berikutnya. Tak sampai 15 menit bus berikutnya tiba, dan saya langsung naik ke atas bus. Ukuran busnya seperti metro mini namun ber-AC dan pintunya cuma satu tanpa kernet. Begitu bus akan berangkat, supir menarik ongkos sebesar 5000 Dong atau sekitar 3500 Rupiah. Sangat murah untuk perjalanan dari bandara ke Pham Ngu Lao yang berjarak sekitar 8 Km dengan waktu tempuh hampir 1 jam. Setiba di hotel yang sudah dipesan sebelumnya melalui internet, rupanya waktu masih pagi sehingga belum bisa check in. Rencananya saya ikut tour setengah hari ke Cu Chi Tunnel, namun karena waktu berangkatnya siang hari, saya putuskan untuk keliling kota Ho Chi Minh sambil menunggu waktu check in dan menitipkan tas di lobby.
Sesaat setelah jalan kaki keluar hotel, sebuah becak menawariku keliling kota Ho Chi Minh. Tukang becak menawarkan tarif 150.000 Dong perjam, dan tidak bisa ditawar karena alasannya tarif normal 300.000 Dong perjam. Karena masih jetlag dan malas cari becak lain, tawaran tersebut langsung diiyakan saja. Tujuan pertama adalah Museum War Remittance alias Museum Sejarah Perang Vietnam. Ongkos masuknya 15.000 Dong dan setelah melewati gerbang, pemandangan di hadapan langsung tersaji peralatan tempur baik mulai dari tank, pesawat tempur, maupun ranpur lainnya baik yang digunakan AS maupun VC. Setelah itu saya masuk ke dalam gedung musium berlantai tiga, yang memamerkan foto-foto perang yang menyayat hati dan peralatan perang ukuran kecil. Foto yang memenangkan hadiah Pulitzer juga ada disitu, serta foto ibu-ibu menggendong bayinya yang cacat akibat perang. Sungguh sebuah sejarah yang memilukan.
Selepas mengunjungi musium, becak kembali melanjutkan perjalanan, kali ini menuju Independent Palace atau kadang disebut juga Reunification Palace. Berhubung waktu sempit, saya hanya sempat mengambil foto dari depan dan tidak sempat masuk ke dalamnya karena harus mengejar kunjungan berikutnya menuju Kantor Pos Besar Kota Ho Chi Minh dan Gereja Notre Dame yang terkenal itu. Di kantor pos saya menukar uang sejumlah 400.000 Dong untuk berjaga-jaga karena tinggal 150.000 Dong di tangan, akibat dipaksa beli topi 50.000 Dong di musium perang. Kantor Pos Besar sendiri merupakan salah satu bangunan bersejarah di Ho Chi Minh yang dibangun pada masa kolonial Perancis. Di dalam kantor pos terdapat ATM dengan bentuk klasik, dan kedai souvenir disamping jual perangko dan jasa pos lainnya. Di depan kantor pos terdapat bangunan tua yang seusia yaitu Gereja Notre Dame, yang bentuknya mirip dengan gereja serupa di Paris.
Perjalanan terakhir sebelum kembali ke hotel adalah menuju Emperor Jade Pagoda yang merupakan salah satu tempat ibadah komunitas Tiongkok di Vietnam. Di sini banyak burung merpati singgah seperti di Batu Caves, Kuala Lumpur. Setelah berfoto sejenak, saya kembali ke hotel mengingat waktu telah memasuki pukul 12.00 siang, karena setengah jam kemudian harus ikut tour setengah hari menuju Cu Chi Tunnel. Tiba di ujung jalan Pham Ngu Lao, saya diturunkan oleh tukang becak dan alangkah kagetnya ketika si tukang becak meminta ongkos 500.000 Dong atau setara 340.000 Rupiah!!! Alasannya sudah tiga jam keliling, padahal tadi saya keluar hotel sudah pukul 10.00, jadi hanya dua jam lebih sedikitlah. Lagipula kalau tiga jam kan cuma 450.000 Dong. Berhubung tukang becaknya tidak fasih berbahasa Inggris, dengan terpaksa saya bayar sesuai permintaan karena alotnya tawar menawar. Daripada pusing berlama-lama, langsung saya tinggal pergi saja. Dongkolnya pula, tukang becak tidak mau mengantar sampai ke depan hotel, padahal cuma sekitar 100 meter lagi dari tempat saya turun. Tapi dipikir-pikir kasihan juga sih, keliling kota sekitar 10 Km dengan penumpang berat seperti saya hehehe.
(bersambung)
NB. Tips naik becak: tawarlah dengan jelas sebelum naik becak, bila perlu tunjukkan jam awal naik becak biar jelas berapa jam becaknya kita pakai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H