Ancaman konflik di Laut Cina Selatan (LTS) terhadap kedaulatan Indonesia menjadi tantangan yang kompleks dan membutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai konteks politik, ekonomi, dan keamanan di wilayah tersebut. Salah satu ancaman terbesar adalah klaim teritorial yang disengketakan, terutama oleh Cina yang memanfaatkan Nine-Dash Line sebagai dasar klaimnya. Klaim ini mencakup sejumlah pulau dan wilayah maritim yang juga diklaim oleh Indonesia, seperti Kepulauan Natuna. Sebagai akibat dari klaim-klaim tersebut, Indonesia telah kehilangan sebagian kedaulatannya atas perairan Natuna yang luasnya sekitar 83.000 kilometer persegi atau sekitar 30 persen dari luas laut Indonesia di wilayah tersebut.
Klaim Nine Dash Line telah menimbulkan ketegangan di wilayah tersebut, karena dianggap tidak memiliki dasar hukum dan melanggar prinsip-prinsip hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS). Perairan Natuna merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah kedaulatan Indonesia di bawah hukum internasional, termasuk di dalamnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sesuai dengan UNCLOS.
Ancaman konflik tidak hanya merongrong kedaulatan Indonesia, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan. LCS merupakan jalur perdagangan internasional yang vital, dengan sekitar sepertiga perdagangan dunia melewati wilayah ini setiap tahunnya. Gangguan terhadap keamanan jalur laut dapat meningkatkan biaya perdagangan dan asuransi, sehingga merugikan perekonomian nasional Indonesia. Selain itu, tantangan keamanan di LCS juga meningkat dengan meningkatnya eskalasi konflik dan aktivitas militer yang semakin intensif di wilayah tersebut. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, Indonesia harus meningkatkan keamanan maritimnya dan mengoptimalkan perannya di forum-forum regional dan internasional untuk memperjuangkan hak-hak kedaulatan maritimnya.
Langkah konkret harus diambil untuk mengatasi ancaman konflik di LCS. Pertama, Indonesia harus terus memperkuat diplomasi dengan negara-negara tetangga dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mengedepankan dialog, mediasi, dan penyelesaian sengketa teritorial secara damai. Kedua, Indonesia harus meningkatkan keamanan maritimnya, termasuk pengawasan dan patroli di perairan Natuna, untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan nasional. Ketiga, peningkatan kemampuan pertahanan juga diperlukan, namun harus dibarengi dengan upaya diplomasi damai untuk menyelesaikan sengketa wilayah.
Konflik LCS yang meningkat dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi kelautan Indonesia secara signifikan. Menurut artikel The Conversation, pada tahun 2022 terdapat 6.130 rumah tangga nelayan di Natuna yang bekerja sebagai nelayan tangkap dan budidaya, atau setara dengan 7,4% dari total populasi Natuna. Produksi perikanan di Natuna juga cukup signifikan, dengan hasil perikanan budidaya sebesar 266,86 ton dan hasil tangkapan sebesar 104.879,8 ton pada tahun 2019 menurut BPS Kabupaten Natuna. Eskalasi konflik dapat menyebabkan terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat, terutama para nelayan. Mobilitas mereka akan terhambat dan ketakutan akan terjebak dalam perselisihan antara kapal-kapal negara yang bertikai dapat mengurangi minat mereka untuk melaut. Ancaman ini juga membahayakan keamanan penduduk Natuna. Oleh karena itu, pemerintah harus memprioritaskan kesejahteraan dan keamanan penduduk Natuna dan menjaga legitimasi atas wilayah LCS. Dengan pendekatan yang komprehensif dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya di LCS dan berkontribusi pada stabilitas kawasan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H