“Pada dasarnya manusia terlahir dengan anugerah akal dan membaca adalah sarana untuk mengisi akal pikiran kita. Akal pikiran yang berisi ilmu pengetahuan hanya bisa dicapai dengan membaca. Semakin banyak membaca, semakin banyak pula ilmu pengetahuan yang mengisi akal pikiran kita.’’
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kebiasaan membaca sesungguhnya memiliki nilai historis. Para tokoh pendiri negara ini adalah mereka yang memiliki kecintaan luar biasa terhadap buku. Sebut saja Soekarno, Hatta, Moh. Yamin, Agus Salim, dan tokoh-tokoh lainnya adalah para tokoh pecinta buku. Mereka dikenal bukan hanya karena pandangan politik, tetapi mereka dikenal pula sebagai tokoh intelektual yang cerdas.
Kualitas intelektual tokoh-tokoh tersebut telah ikut serta mengantarkan negara Indonesia menuju gerbang kemerdekaannya. Salah satu tujuan negara yang tersurat dalam preambule UndangUndang Dasar 1945 tepatnya di alinea ke-4 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya para founding fathers kita telah mendesain republik ini menjadi negara yang berkomitmen terhadap kecerdasan rakyatnya.
Mencerdaskan bangsa identik dengan penguasaan pengetahuan oleh seluruh rakyat. Untuk mewujudkan amanat pembangunan tersebut, tentu saja negara kesatuan ini tidak tinggal diam. Sejarah mencatat bahwa pemberantasan buta huruf, sebuah program di masa lampau yang ditujukan untuk menjadikan masyarakat menjadi ‘melek huruf’ bisa baca dan tulis telah diupayakan. Program lain yang juga dilakukan untuk mewujudkan amanat tersebut adalah Wajib Belajar 9 tahun yang selanjutnya diperpanjang dengan Wajib Belajar 12 tahun.
Aksi nyata yang telah dilakukan oleh negara ini jelaslah dimaksudkan untuk menjadikan warganya menjadi insan yang berpendidikan dan terdidik. Kecerdasan akan pengetahuan sangatlah ditentukan oleh tingginya tingkatan ilmu pengetahuan yang diakses melalui perolehan informasi lisan dan tulis. Semakin banyak insan yang dahaga akan pengetahuan maka semakin tinggi peradabannya. Di sinilah terbentang relasi bahwa kebudayaan dan keberadaban suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat literasinya.
Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang maju kebudayaan dan peradabannya adalah bangsa yang kuat tradisi literasinya. Tingkat literasi mereka sangatlah besar terhadap bacaan-bacaan cendekiawan di jamannya. Budaya literasi sangatlah penting dalam memainkan peran pembentuk insan cerdas yang pada saatnya nanti akan menciptakan bangsa yang cerdas dan berkualitas.
Literasi tidak hanya terkait dengan kemampuan membaca dan menulis. Ditjen Dikti menyebutkan ada enam literasi dasar yang perlu dikuasai, antara lain: literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi budaya dan literasi finansial. Namun, apapun keberagaman literasi itu, tetaplah literasi baca tulis yang menjadi fondasi awal dan penyangga untuk mengakses literasi-literasi lainnya.
Persoalan literasi sejatinya kerap disosialisasikan dan dieksekusi oleh pemerintah dengan berbagai aksi nyata di lapangan. Namun, nampaknya budaya literasi memang belumlah terbentuk. Sebagian besar orang akan disibukkan dengan gadget dibandingkan dengan buku. Bukan untuk membaca, tetapi untuk ber-medsos ria berjam-jam. Sebenarnya sudah banyak aplikasi buku elektronik yang dapat diakses melalui gadget, namun hal ini tak membuat preferensi ber-medsos mereka beralih.
Tak jarang pula mereka akan berkomentar negatif atau reshare berita yang belum tentu kebenarannya. Bahkan banyak media online yang memuat informasi bahwa tingkat kesopanan netizen Indonesia menempati urutan paling rendah di Asia Tenggara. Mengenaskan, bukan? Negara kita yang dikenal dengan budaya santunnya ternyata tidak serta merta menjadikan netizen-nya santun dan berbudaya.
Minimnya ilmu ditambah lagi dengan malas membaca itulah yang memicu mereka untuk mudah nyinyir dan tersulut. Ibarat tong kosong berbunyi nyaring, itulah gambaran mereka. Agar tong tersebut tidak berbunyi nyaring maka perlulah diisi penuh dengan ilmu pengetahuan. Mengisinya jelas dengan belajar, dan satu aktifitas belajar yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja adalah membaca.