Lihat ke Halaman Asli

diyah meidiyawati

tinggalkan jejak kebaikan lewat tulisan

Falsafah Jawa: Wong urip Iku Mung Mampir Ngombe

Diperbarui: 21 Juni 2023   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen:pribadi

Falsafah Jawa wong urip iku mung mampir ngombe tampaknya sudah sangat familiar di pendengaran kita, khususnya kita yang orang  Jawa. Dulu, saat saya masih tergolong ABG, saya menerjemahkan kalimat itu secara kata per kata  saja, orang hidup hanya untuk mampir minum. Namun, semakin ke sini, saat pemikiran semakin dewasa seiring dengan usia yang kian bertambah, saya kembali merenungkan pepatah Jawa tersebut.

Konsep wong urip mung mampir ngombe menyiratkan bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah sementara saja. Manusia hanya singgah sementara, bukan menetap selamanya.  Urip mung mampir ngombe diibaratkan seperti seorang pengelana  yang melakukan perjalanan panjang,  kemudian ia akan mampir ke sebuah kedai untuk membeli air minum kemudian  meminumnya sebelum melanjutkan perjalanannya lagi.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu disibukkan dengan segala varian rutinitas. Mulai dari bangun tidur, sarapan, bekerja, bersekolah, lembur, hang out bareng teman-teman, sampai pulang  ke rumah dan selanjutnya tidur lagi. Begitulah siklus hidup dalam keseharian kita. Kita tidak pernah mengetahui sampai kapan siklus hidup kita akan berhenti. Kita pun tidak pernah mengetahui berapa lama lagi rutinitas keseharian kita akan berakhir. Singkatkah atau masih lamakah, tak satupun dari kita yang akan mengetahui.

Kita menjalani siklus rutinitas  dalam ketidakpastian. Namun, yang tetap  adalah siklus rutinitas kita pasti akan berakhir. Panjang atau pendek hidup kita di  bumi yang kita pijak   saat ini menjadi urusan Tuhan  semata. Jika saja Tuhan memberikan kesempatan hidup dua kali, tentunya kita akan mengambil dan memanfaatkan kesempatan kedua itu dengan sebaik-baiknya. Namun kenyataannya, hidup yang Tuhan berikan hanyalah satu kali.

Sebagai pengelana, Tuhan menciptakan manusia di dunia ini hanya untuk singgah dan pergi lagi menuju ke kehidupan selanjutnya. Karena hidup hanyalah singgah dan itu satu kali saja, ada baiknya kita mencari bekal kebaikan sebanyak mungkin sebelum pergi. Yen urip mung mampir ngombe- jika hidup hanyalah singkat- lantas hidup seperti apakah yang harus kita jalani?

Tuhan Sang Pencipta telah mengingatkan bahwa ada masa di mana kematian pasti akan dialami oleh setiap mahlukNya, tak terkecuali juga manusia. Untuk menyongsong akhirat sebagai tempat persinggahan berikutnya , tentunya manusia haruslah membawa bekal. Lantas, bekal seperti apakah yang harus dipersiapkan?

Tuhan dengan segala kasihNya telah menciptakan manusia dalam keadaan sempurna. Kelengkapan indera tubuh ditambah dengan kegeniusan akal menambah sempurna keberadaan manusia. Untuk mensyukuri segala kebaikan Tuhan, sewajarnya dan memang seharusnya manusia menjalin hubungan vertikal yang baik denganNya.  Bagaimana realisasinya? Tentunya kita harus menjalankan kewajiban ibadah sesuai dengan tuntunan agama yang kita yakini. Kewajiban ini bukan semata-mata ceremonial rutin, tetapi ibadah ini merupakan kebutuhan manusia akan Tuhannya yang bersifat individu.

Karena relasi vertikal ini bersifat privat maka hanya manusia itu sendiri yang mengetahui seberapa dekat hubungannya dengan Tuhannya. Selain menjalankan semua perintahNya, kita juga berkewajiban untuk menjauhi segala hal yang memang dilarangNya. Menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan ini tentunya atas kesadaran pribadi bahwa Tuhan selalu mengawasi , menilai dan membalas semua perbuatan.

Dalam relasi vertikal manusia dan Tuhan di atas, sebenarnya tersirat pula relasi horizontal manusia dengan sesamanya. Tuhan tidak saja memerintahkan manusia untuk membangun keharmonisan denganNya semata. Namun, Tuhan mewajibkan manusia untuk membangun kebaikan dengan sesama manusia tak kerkecuali pula binatang dan tumbuhan. Tentu saja kewajiban ini tersurat dan tersirat dalam kitab suci.  

Kebaikan-kebaikan dalam relasi horizontal sebenarnya banyak ditemui di sekitar kita. Sebut saja bersosialisasi baik dengan tetangga, rekan kerja serta berbagi kebaikan pada orang-orang yang kurang beruntung. Bukan pada manusia saja berbuat baiknya, ya.  Kitab suci yang merupakan firman Tuhan memerintahkan juga agar kita tidak semena-mena pada alam dan binatang  yang ada di sekitar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline