Tak dapat disangkal lagi bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna dan paling tinggi derajatnya. Sebagai makhluk individu, sang Pencipta telah mendesain manusia dengan segala keunikan dan kekhasan rupa beserta sifat pribadi masing-masing. Sebut saja gemuk, kurus, tinggi, rambut lurus, kulit sawo matang dan lain-lain. Begitu pula dengan sifat. Ada orang yang sombong, sabar, pelit, pemurah dan sebagainya. Sebagai individu, manusia tidak ada yang benar-benar sama meskipun kembar identik sekalipun.
Selain sebagai individu yang unik, manusia juga berperan sebagai mahluk social- zoon politicon. Sebagai makhluk sosial, tentu saja ia membutuhkan manusia lain untuk membantunya menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup. Berdampingan hidup dengan orang lain menjadi sama pentingnya dengan kebutuhan pokok sehari-hari.
Interaksi yang terjadi dalam hidup keseharian akan menuntut manusia untuk saling berbaur. Hidup bermasyarakat pastinya akan melibatkan terjadinya interaksi dan komunikasi. Interaksi yang terjadi tentunya mengikutsertakan banyak manusia dari beragam golongan atau kelas sosial. Ada yang berasal dari kelas atas , kelas menengah maupun kelas bawah.
Namun perbedaan status sosial yang ada di masyarakat seyogyanya tidak serta merta dijadikan penghalang untuk berinteraksi guyub rukun. Mengapa? Coba kita simak lagi firman Allah SWT dalam Al Quran surat Al Hujurat ayat 13 yang artinya “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dikutip dari beberapa referensi, kalimat “Wahai manusia!” tidak ditujukan pada kaum muslim saja, melainkan pada seluruh manusia di muka bumi. Ayat ini menegaskan bahwa derajat manusia di hadapan Allah adalah sama dan yang paling mulia di sisiNya adalah orang yang paling bertakwa. Bila kita cermati lagi, isi kandungan ayat ini juga menjadi dasar interaksi manusia tanpa memandang status sosial yang tercipta di masyarakat.
Interaksi manusia yang terjadi akan melibatkan manusia untuk take and give. Juragan atupun bos akan memberi reward kepada asisten maupun bawahan begitupun sebaliknya. Take and give yang terjadi antara bos dan asisten menunjukkan sisi positif saling memberikan manfaat. Bos terbantu tugas-tugasnya karena bantuan asisten. Begitu pula dengan asisten yang terbantu perihal keuangannya karena bos memberinya reward uang.
Begitulah yang seharusnya terjadi. Hidup berdampingan memberikan manfaat tanpa sekat perbedaan status sosial. Khoirunnas anfauhum linnas adalah hadist Rosulullah yang bermakna sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat kepada manusia lainnya. Allah tidak memerintahkan manusia untuk manjadi orang yang berpengaruh dan ditakuti di seantero dunia. Namun, Allah hanya memberikan mandat pada manusia untuk bermanfaat untuk sesamanya.
Bila dicermati, diberikannya kelebihan dan kekurangan pada manusia semata-mata agar kita saling memberikan manfaat, saling menolong dan saling membantu. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menjalani hidup kesehariannya seorang diri. Semandiri dan sehebat apapun seorang manusia mengatasi persoalan hidupnya, pasti akan ada waktu saat ia membutuhkan pertolongan dan support orang lain.
Atas ijin Allah juga, perbedaan kadar rejeki atau peruntungan duniawi bisa jadi akan menggugah nurani manusia untuk menolong orang lain. Di sinilah tampak peran nyata bahwa sebagai manusia ia memiliki keinginan untuk membantu dan tentunya ingin dibantu pula. Saling tolong sebagai cerminan rasa empati juga disebutkan dalam Alquran surat Al Maidah ayat 2 yang artinya “… Saling menolonglah kamu dalam melakukan kabajikan dan takwa. Dan jangan saling menolong pada perbuatan yang dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya siksaan Allah sangatlah berat.”
Jelas sekali disuratkan bahwa saling menolong dalam kebajikan bukanlah hanya sekedar perintah, namun sikap mulia itu merupakan wujud kebermanfaatan manusia bagi sesamanya. Rosulullah SAW juga bersabda yang artinya “Barang siapa melapangkan seorang mukmin dari satu kesusahan dunia, Allah akan melapangkannya dari salah satu kesusahan di hari kiamat. Barang siapa meringankan penderitaan seseorang, Allah akan meringankan penderitaannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba selama hamba itu mau menolong saudaranya.”(HR. Muslim)