Kebebasan perempuan dalam mendapatkan pendidikan di era modern ini tak bisa dipungkiri berkat dari perjuangan Raden Adjeng Kartini. Sosok wanita tangguh yang dulu hanya bisa diimajinasikan dari buku pelajaran waktu SD. Namun, di era digital ini telah dihasilkan karya indah melalui visual yang lebih menarik melalui film.
Film Kartini memang telah tayang pada tahun 2017. Akan tetapi, di bulan februari ini atau erat dikaitkan dengan bulan kasih sayang ini sangat perlu untuk mengingat kembali bagaimana hakikatnya mengekspresikan rasa cinta dan kasih.
Mengingat kembali memori pada tahun 2017 dimana perjuangan dimulai kembali. Saat itu saya memperdalam bahasa inggris di kampung inggris untuk menyelesaikan impian saya untuk bisa kuliah di luar negeri. Takdir saya membawa di kampung inggris bukanlah tanpa makna, semua sudah di takdirkan dan pasti yang terbaik.
Saya bertemu dan berkenalan dengan banyak teman di berbagai penjuru tanah air yang tentunya memili misi yang sama untuk memperdalam ilmu bahasa inggris. Sampai pada akhirnya saya berkenalan dengan salah satu teman dari Jakarta dan Padang yaitu Retno dan Yufa. Kami sama memiliki karakter yang sama yaitu pejuang tangguh penakluk impian untuk bisa kuliah di luar negeri.
Perlu adanya menggenjot semangat untuk bisa meloncat lebih jauh. Sehingga, kami memiliki rencana di akhir pekan untuk menonton film kartini di bioskop kota Kediri. Walaupun perjalananya cukup panjang hampir 1 jam an dan ditempuh dengan angkutan umum. Namun, kami tetap antusias dan tertawa lebar untuk bisa menyaksikan film Kartini.
Film kartini yang distradari Hanung Bramantyo dan dengan pemain kondang seperti Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Ayushita, Christine Hakim, Reza Rahardian, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Adinia Wirasti memberikan rasa penasaran yang teramat dalam. Dan, akhirnya kami menonton di bioskop di Kediri Mall pada tanggal 26 April 2017.
Menakjukbkan sekali film Kartini ini karena saya berhasil mengimajinasikan era tahun 1800-an di kota kelahiran RA Kartini, Jepara, Jawa Tengah. Film ini bercerita tentang kisah hidup tokoh emansipasi perempuan, RA Kartini yang dimainkan oleh Dian Sastro dalam rentang 1883 -- 1903 di Jepara, mulai dari kanak-kanak hingga dewasa.
RA Kartini tokoh yang mendobrak tradisi jawa kuno, berawal dari Kartini kecil yang mengadakan perlwanan karena tak diizinkan tinggal bersama ibu kandungnya sendiri, Ngasirah yang dimainkan oleh Nova Eliza (Ngasirah muda) karena bukan berasal dari golongan ningrat, walaupun bapaknya sendiri merupakan seorang bupati berdarah bangswan. Oleh karena itu, Kartini diharuskan memanggil Ngasirah dengan sebutan Yu, bukan Ibu. Dan Ngasirah harus tinggal di rumah belakang sebagai pembantu, terpisah dari anak-anak dan suaminya sendiri.
Kartini kecil sangat tak berdaya pada tradisi yang berlaku saat itu, begitupun dengan sang ayah yang harus menikahi gadis ningrat agar bisa menjadi seorang bupati. Dan pada saat mendapatkan menstruasi pertamanya, maka mulailah Kartini menjalani kehidupan pingitan untuk menjadi Raden Ajeng dan siap dinikahkan oleh seorang bangsawan ningrat.
Kartini sangat tersiksa dengan kehidupan seperti itu, karena sejatinya ia ingin hidup bebas serta mengecam pendidikan tinggi seperti yang dialami kakak laki-lakinya, RM Sosro Kartono (Reza Rahardian) yang mendapatkan beasiswa belajar ke negeri Belanda.
Kartono yang iba pada penderitaan Kartini akhirnya memberikan sebuah kunci kepada adiknya itu. "Ini kunci yang akan menghubungkan kowe dengan dunia luar dari kamar pingitan."