Lihat ke Halaman Asli

Divya Jyoti Mahardika

Mahasiswa/Puteri Ekowisata Indonesia 2023

Menyelami Tri Hita Karana dalam Suara Bumbung Gebyog: Merawat Alam, Syukur dan Kebersamaan

Diperbarui: 4 November 2024   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jembrana, Bali -- Di balik setiap denting bambu Bumbung Gebyog, tersimpan kisah tentang rasa syukur, kebersamaan, dan hubungan sakral antara manusia dengan alam dan Tuhan. Tradisi Bumbung Gebyog, warisan budaya asli Jembrana, Bali, bukan sekadar alunan musik tradisional, tetapi simbol harmoni yang dalam. Setiap nada yang tercipta dari tabung-tabung bambu ini menggema sebagai wujud kebersamaan dan ketulusan hati masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam.

Bumbung Gebyog dimainkan oleh sekelompok ibu-ibu desa yang saling bergantian memukul bumbung bambu dalam pola oncang-oncangan dan ada tengtongan, ritme yang mengingatkan pada suara menumbuk padi. Pola bunyi ini tidak hanya menandakan perayaan hasil panen yang melimpah, tetapi juga memperkuat ikatan sosial, menghubungkan satu hati dengan hati lainnya dalam sebuah rasa syukur yang mendalam. Di setiap dentingan bambu, tercermin filosofi Tri Hita Karana, yang mengajak setiap orang untuk hidup dalam harmoni antara sesama, alam, dan Tuhan.

Salah satu pelaku seni, Made Andre Ari Nugraha S., yang menjadi penggarap penampilan Bumbung Gebyog, berbagi kisahnya tentang makna tradisi ini. "Setiap kali bambu ini kami tabuh, rasanya kami kembali diingatkan akan anugerah Tuhan yang tak terhingga. Alam yang memberi kami kehidupan, panen yang cukup, dan kebersamaan yang hangat," ujarnya penuh haru. Melalui Bumbung Gebyog, ia dan timnya tak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menanamkan rasa syukur di dalam setiap detik kehidupan.

Pada 16 November 2024 mendatang, Bumbung Gebyog akan tampil di panggung besar Kota Tua, Jakarta, sebagai bagian dari rangkaian festival budaya. Penampilan ini menjadi peluang berharga untuk memperkenalkan keindahan budaya Jembrana kepada masyarakat luas, mengajak mereka untuk merasakan kedalaman nilai Tri Hita Karana yang tersirat di setiap alunan nada bambu. Melalui festival ini, suara-suara dari desa akan mengajak penonton untuk mengingat bahwa menjaga keseimbangan alam dan kerukunan sosial adalah inti dari kehidupan yang bermakna.

"Semoga Bumbung Gebyog bisa menyentuh hati banyak orang, menjadi pengingat bahwa hidup ini indah ketika kita saling menjaga, menyayangi, dan mensyukuri anugerah," ujar Made Andre Ari Nugraha S.

Pelestarian Bumbung Gebyog membuktikan bahwa kekayaan budaya bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga menjaga keharmonisan masa kini dan masa depan. Di setiap denting bambu yang dimainkan, terpancar harapan akan kehidupan yang saling mendukung dan penuh berkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline