Lihat ke Halaman Asli

Divya Anggia

Mahasiswa

Perpaduan Sejarah dan Budaya, Menapaki Keindahan Candi Cangkuang dan Keunikan Budaya Kampung Pulo

Diperbarui: 4 Juli 2024   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 http://assets.kompasiana.com/items/album/2024/07/04/050316-bandung-garut-pangandaran-34-jpg-6686a385c925c4709c7fc124.jpg

Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Indonesia. Candi ini terletak di tengah-tengah Danau Cangkuang dan dikelilingi oleh pepohonan rindang, sehingga memberikan suasana yang sejuk dan tenang. Candi Cangkuang diperkirakan dibangun pada abad ke-8 dan merupakan salah satu candi Hindu tertua di Jawa Barat. Candi ini terbuat dari batu andesit dan memiliki bentuk yang sederhana, yaitu persegi panjang dengan atap pelana. Candi ini memiliki tiga tingkatan, yaitu bhurloka (bumi), bhuvarloka (atmosfer), dan svarloka (surga).

Candi Cangkuang, ditemukan kembali pada tahun 1966 oleh seorang ahli purbakala yang Bernama Drs Uka Chandra Sasmita. Kisah penemuannya berawal dari sebuah buku Belanda yang menyebutkan tentang keberadaan makam kuno dan arca Dewa Siwa di Desa Cangkuang. Namun, dalam bukunya tidak disebutkan adannya bangunan candi, hal ini mengundang kecurigaan, karna bagaimana ada arca dewa siwa tapi tak ada apa-apa, sehingga para ahli pun melakukan penelitian dan penggalian selama dua tahun. Usaha mereka membuahkan hasil. Pondasi candi berukuran 4,5 x 4,5 meter berhasil ditemukan, meski kondisinya sudah hancur dan sebagian batuannya tertimbun tanah. Para ahli memperkirakan bentuk candi ini hanya berdasarkan 40% batuan asli yang tersisa, dengan jenis batuan andesit. Di radius 500 meter sekitar area candi diketemukan, kemudian dilakukan proses pemugaran candi pada tahun 1974 -1976.

Dinamakan Candi Cangkuang, nama ini diambil dari nama desa dimana candi ini diketemukan juga dari pohon cangkuang (pandanus furcatus) yang banyak tumbuh di sekitarnya. Meski belum ada prasasti yang ditemukan, adapun kerajaan mana, atau siapa rajanya belum diketahui juga, tetapi para ahli percaya candi ini merupakan peninggalan agama Hindu abad ke-8 karena keberadaan arca Dewa Siwa. Di sisi lain, bersampingan dengan Candi ditemukan makam kuno, makam Seorang Panglima dari Mataram, Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad. Beliau diutus untuk perang melawan VOC Belanda. Namun sayang kegagalan menderanya, sehingga mengantarkan ia untuk menetap di kampung ini, dan menyebarkan agama islam disana, sebab malu untuk pulang membawa kegagalan.

Menetap dan menyebarkan islam di kampung yang berada di tengah-tengah situ ini menjadi asal muasal berdirinya Kampung Pulo, dinamakan pulo sebab berada di tengah-tengah pulau (danau/situ), sebuah pemukiman adat yang unik dengan tujuh bangunan utama: enam rumah dan satu mushola. Angka tujuh ini melambangkan putra-putri keturunan Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad yang memiliki tujuh anak. 6 rumah yang saling berhadapan menyimbolkan 6 Putri Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad, dan 1 Mushala menyimbolkan 1 Putra beliau.

https://assets.kompasiana.com/items/album/2024/07/04/2022-09-19-6686abccc925c44dee7dda94.jpg

Keunikan Kampung Pulo tak hanya terletak pada arsitekturnya, tetapi juga adat istiadatnya yang masih dilestarikan hingga saat ini. Beberapa aturan adat yang masih dipegang teguh antara lain:

  • Larangan berziarah pada hari Rabu: Ziarah ke makam Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad hanya diperbolehkan pada hari lain, kecuali Kamis sore. Hitungan berganti hari dimulai sejak selepas Ashar. 
  • Larangan memelihara hewan ternak besar: Hewan ternak besar seperti sapi dan kambing tidak boleh dipelihara di Kampung Pulo.
  • Larangan menambah atau mengurangi jumlah bangunan pokok: Jumlah bangunan pokok di Kampung Pulo harus selalu tujuh, sesuai dengan simbol keturunan Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad.
  • Ketentuan satu rumah satu kepala keluarga: Setiap rumah di Kampung Pulo hanya boleh dihuni oleh satu kepala keluarga.
  • Penerapan sistem matrilineal: Hak atas rumah diserahkan kepada anak perempuan, bukan anak laki-laki.
  • Urutan membuat rumah beratap jure: Atap rumah di Kampung Pulo harus berbentuk jolopong, memanjang, dan tidak boleh jure (seperti prisma).
  • Larangan memukul gong besar dari perunggu: Keturunan Kampung Pulo, baik yang tinggal di sana maupun di luar, dilarang memukul gong besar dari perunggu.

Aturan-aturan adat ini tidak hanya menjadi tradisi, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Adat istiadat ini menjadi pengingat akan asal-usul, identitas, dan nilai-nilai moral bagi masyarakat Kampung Pulo. Candi Cangkuang dan Kampung Pulo merupakan Simbol Sejarah dan Budaya yang Lestari. Candi Cangkuang dan Kampung Pulo bukan sekadar tempat bersejarah dan pemukiman adat biasa. Keduanya merupakan simbol perpaduan sejarah, budaya, dan kearifan lokal yang masih terjaga hingga saat ini. Keberadaannya menjadi bukti kekayaan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus.

Kisah Candi Cangkuang dan Kampung Pulo tak hanya menarik bagi para pecinta sejarah dan budaya, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin memahami nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Bagi masyarakat Kampung Pulo, kisah ini menjadi identitas dan pengingat akan asal-usul mereka, sebuah warisan budaya yang tak ternilai harganya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline