Lihat ke Halaman Asli

Divya Anggia

Mahasiswa

Menemukan Terang di Tengah Kegelapan: Sebuah Metafora Tentang Perjalanan Menuju Penerimaan

Diperbarui: 19 Juni 2024   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Menemukan Terang di Tengah Kegelapan: Sebuah Metafora Tentang Perjalanan Menuju Penerimaan

Kusebut itu terang. Iyaa, aku menemukan terang, setelah berkutat lama dengan pekatnya gelap, aku melihat tenangnya terang. Hufft, tidak menyangka ternyata sampai di titik ini juga, walau baru saja, dan masih banyak yang harus kupelajari semua halnya, tapi tetap saja, rasanya luar biasa, masih ada sulit ketika kupelajari dan kulakoni satu-satunya. Tapi aku luar biasa. Berada di tahap ini sungguh perlu usaha yang tak mudah begitu saja.

Selayaknya mendaki, yang kutapaki selama ini tak jauh dari tumpukan batu yang melukai, runcing ranting yang menyayat sesekali, jalanan terjal yang kadang seperti akan mengorbankan diri, dan tanpa tour guide atau peta untuk membaca jalan yang akan aku lewati, juga tanpa penerangan sama sekali, membuat perjalanan yang kulalui terasa memberatkan sekali.

Aku bertahan, jatuh, tersungkruk, bangkit, terperosok, rusak, dan bangkit lagi, begitulah seterusnya. Yang kulalui rasanya tak jauh dari itu semua, merasa jalan yang kudaki kenapa tak semudah manusia-manusia lainnya. Merasa dunia tak adil menyerahkan segalanya, sampai karna tak mampu menerima, membuat aku kewalahan dan akhirnya kelabakan menempuhnya.

Berkali-kali kupelajari, mencari dan belajar lagi dan lagi tentang mendaki. Katanya, kunci dari sampai adalah menerima perjalanan. Dan ini ternyata maknanya dalam sekali. Kukira menerima hanya sebatas mampu ikhlas atas apa yang telah terjadi. Aku sudah mengikhlaskan terkait jalan yang kudaki seperti ini, tapi rasanya tak ada yang berubah sama sekali. Ternyata menerima itu memiliki filosofi yang tinggi. Menerima bukan sebatas mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Lebih dalam dari itu, menerima adalah proses membuka diri.

Tapi aku luar biasa. Berada di tahap ini sungguh perlu usaha yang tak mudah begitu saja. Terima kasih, selalu bertahan. Terima kasih telah sadar, bahwa aku juga berharga walau rusak mental dan rupanya. Terima kasih telah hidup. Mari rawat segala luka-lukanya. Dan tumbuh lebih baik selanjutnya.

Mari perbaiki segala yang rusak, mari pelajari segala hal yang bisa membuat sesak, mari rekatkan lagi bagian yang retak, dan mari kembali menyusun jejak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline