Lihat ke Halaman Asli

Nepotisme dalam Arena Penuh Talenta

Diperbarui: 9 November 2024   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di arena yang seharusnya menjadi pertarungan antar bakat, nama belakang sering kali menjadi senjata mematikan. Gladiator-gladiator atletik yang menggunung demi menjadi yang terbaik dan dilihat oleh banyak pasang mata untuk membuat nama. Dibalik sorotan tanpa henti dan euforia kemenangan, ada cerita mengenai mereka yang mendapatkan kesempatan bukan karena kemampuannya, melainkan nama belakang yang berada di punggung mereka. 

Dalam lingkungan yang sangat kompetitif, keberhasilan selalunya dicapai melalui kerja keras, bakat, dan dedikasi. Namun, koneksi seseorang dari nama belakang dapat memberikan akses terhadap pelatih terbaik, fasilitas kelas dunia, dan bahkan sorotan media, mereka yang datang dari keluarga biasa atau yang miskin harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan sebuah tempat di dunia olahraga. 

Seorang atlet dari kota kecil yang tidak memiliki koneksi dan akses terhadap fasilitas terbaik harus berjuang lebih keras untuk bisa dilirik oleh pencari bakat. Proses seleksi yang panjang dan sangat kompetitif, sering kali tanpa bimbingan yang memadai. Di sisi lain, seorang atlet yang merupakan anak dari megabintang sudah mendapatkan sorotan dari pencari bakat sejak kecil, bahkan sebelum mereka menunjukkan kemampuannya di lapangan.

Tentu masa sekarang tidak dapat dibandingkan dengan masa lalu. Pada masa lalu, liga-liga olahraga masih berkembang sehingga atlet-atlet memiliki fasilitas yang terbatas. Nepotisme belum menjadi suatu hal yang berpengaruh karena liga-liga yang baru dibentuk membutuhkan talenta yang dapat dipasarkan sehingga melakukan nepotisme hanya akan memperlambat perkembangan liga tersebut.  

Di sisi lain, masa kini sudah banyak fasilitas yang sangat baik, tetapi aksesnya dibatasi oleh kemampuan ekonomi dan koneksi seseorang ataupun daerah yang ditinggali. Liga-liga olahraga juga sudah menghasilkan banyak keuntungan sehingga mengundang keinginan nepotisme untuk menikmati hal tersebut dengan orang-orang terdekat.

Menjadi atlet memang bukanlah suatu hal yang mudah. Seorang atlet harus memiliki mental baja untuk terus berlatih dan memberikan performa yang terbaik di arena. Seorang atlet juga harus menjaga kesehatan baik fisik maupun mentalnya supaya dapat memberikan kemampuan terbaiknya. Rasa lapar untuk menjadi terbaik juga menjadi salah satu hal terpenting yang memisahkan atlet biasa dengan atlet superstar. Peluang menjadi atlet yang sangat kecil juga menjadi tantangan sulit para calon olahragawan tersebut. 

Nepotisme dalam dunia olahraga merupakan masalah yang rumit. Di satu sisi, seorang anak dari mantan atlet atau bahkan yang masih lanjut berkarir dapat mengakses fasilitas terbaik dan bahkan diberikan tempat di tim orang tuanya. Namun, anak tersebut juga mendapatkan pelatihan langsung dari atlet, yaitu orang tuanya sehingga mampu untuk menjadi seorang atlet yang berkualitas, apalagi ketika ditambah dengan kemauan untuk menjadi yang terbaik. 

Di sisi lain, seorang anak dari atlet yang bermalas-malasan tetap bisa mendapat sebuah tempat di tim ayahnya, terutama ketika ayahnya seorang superstar dan memiliki tempat spesial di timnya. Menurut saya, dunia olahraga harus dibangun berdasarkan meritokrasi, bukan hubungan pribadi. 

Advantage atau keunggulan koneksi dan ekonomi yang dimiliki oleh setiap atlet memang tidak bisa dipukul sama rata. Namun, perlu diciptakan sebuah sistem yang adil untuk seluruh atlet dalam menunjukkan kemampuannya. Jangkauan pencari bakat juga harus lebih tersebar dan tidak terfokus dalam menyorot pemain yang nama belakangnya terkenal. 

Nepotisme dalam dunia olahraga dapat diibaratkan seperti dua orang anak yang ingin mencapai atap di suatu gedung seratus lantai. Permasalahannya, satu anak mulai dari lantai terbawah, sedangkan anak yang lain mulai dari lantai lima puluh. 

Atlet yang mendapatkan kemudahan dari keluarganya yang memiliki koneksi tentunya akan memiliki keunggulan lebih layaknya anak yang mulai lombanya dari lantai lima puluh. Di sisi lain, atlet yang tidak memiliki koneksi tersebut harus bekerja berkali-kali lipat lebih keras daripada atlet sebelumnya untuk mencapai atap atau kesuksesan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline