Saat ini, segala hal paling primer bagiku ialah
menjadi pertapa, mungkin di pelataran duka
dan bertopang di meja makan tua. Insiden-insiden diganyang rendang dilumat nasi yang memutih tanpa arak, menguar seisi rumah.
Dialog-dialog barangkali dimasak setelah basi semalaman, dingin sejak petang, dan bila perlu diolah hingga matang agar tak berstatus usang dan kembali menjanjikan yang konon sempat disajikan dalam pesta musyawarah bertema kerakyatan.
Tapi, riuh tetap mengetuk pintu. Kuintip dari celah jendela, juru warta sedang gaduh sedang aku memesan juru masak yang ampuh, daripada ketukan pintu yang lancang barangkali lebih syahdu kudengarkan celoteh piring bersahutan dan suara pisau yang mencium talenan. Pintu menjengkelkan itu malah berkabar,
"Pemilik rumah, keluarlah! Kami membawa masakan yang telah terbungkus kemeja berlumur darah"
apa sudah terjadi tragedi bertopik kematian?
dan masakan terlalu banyak bumbu sengak dituang sedang perkara masih belum matang di kursi sidang?
Aku memilih,
mengurung abjad-abjad yang bisa saja tumpah lewat lisan, barangkali tulisan
sambil mengisap rusuk tubuhku
di situs ingatan terdalam.
Jombang, 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI