Kukira dunia kerja itu indah, punya banyak teman dan menyenangkan. Ternyata sebaliknya, dunia kerja itu kejam, hanya ada sedikit teman yang mau mengerti kita dan tidak menyenangkan. Aku kerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang properti. Aku bekerja sebagai sekretaris seorang CEO. Memang tidak semua rekan kerjaku yang nggak sefrekuensi denganku, tetapi aku merasa mereka tidak pernah mau diajak kerja sebagai team dalam bekerja. Namun, aku tetap fokus kerja dan terus semagat demi menghidupi ayah, ibu, dan adikku di kampung.
"Rina coba kamu periksa file kemarin karena kita besok mau presentasi!" ucap Pak Emil selaku CEO di kantor.
"Siap Pak!" ucapku singkat seraya mencari file yang disuruh Pak Emil.
"Ini filenya Pak. Ini filenya mau ditambah lagi atau gimana Pak?" tanyaku kepada Pak Emil.
"Coba kamu liatkan ke saya dulu!" ucap Pak Emil kepadaku.
"Ini Pak, awww...!" ucapku seraya berjalan menuju Pak Emil dan hampir terjatuh. Untung Pak Emil langsung menangkapku. Lama kami bertatapan mata hingga aku tersadar dan bangun sambil berdiri.
"Ka-kamu hati-hati dong Rin, kalau terjatuh gimana!" ucap Pak Emil dengan gugup terhadapku.
"Ma-maaf Pak. Saya buru-buru menghampiri meja nggak ngeliat heels saya tersangkut karpet ruangan Bapak!" ucapku terbata-bata seraya tertunduk malu terhadap Pak Emil.
"Iya, nggak apa-apa. Ya sudah, mana filenya sini!" ucap Pak Emil kepadaku.
"Ini Pak!" ucapku singkat seraya memberikan file kepada Pak Emil.
"Mari kita kerjakan bersama. Ada beberapa hal yang harus ditambah. Duduk sini!" ucap Pak Emil kepadaku.
Aku pun disebelah Pak Emil dan mengerjakan filenya bareng. Tanpa kusadari Pak Emil terus memandangku. Aku terkaget melihat Pak Emil terus memandangku.
"Pak, kok memperhatikan saya terus. Penampilan saya aneh ya!" ucapku seraya memperhatikan penampilanku.
"Nggak kok, kamu cantik. Maksud saya penampilanmu yang bikin kamu cantik!" ucap Pak Emil gelagapan terhadapku.
"Kok Bapak jadi salting gitu. Biasa aja dong Pak, presentasinya besok Pak!" ucapku seraya tertawa renyah kepada Pak Emil.
"Iya nih, saya salting karena besok mau presentasi!" ucap Pak Emil sambil merapikan kerah bajunya.
Tak terasa sudah waktunya shalat Zuhur. Aku pun izin ke Pak Emil untuk shalat Zuhur dulu di mushalla kantor. Pak Emil beragama Kristen, tapi dia sangat menghormati orang Islam untuk shalat. Jika masuk waktu shalat dia selalu welcome untuk siapa saja yang ingin shalat.
"Pak, saya izin shalat dulu, ya!" ucapku seraya berdiri dari tempat dudukku.
"Iya, jangan lama-lama, ya. Nanti saya kangen, ehh maksudnya saya nggak ada temannya disini!" ucap Pak Emil seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Iya, Pak. Jangan kangen ya!" ucapku seraya tertawa renyah terhadap Pak Emil.
Aku pun shalat di mushalla kantor. Selesai shalat aku kembali ke ruangan Pak Emil untuk melanjutkan kerja yang sempat tertunda. Kulihat Pak Emil tertidur di meja kerjanya. Ternyata Pak Emil kalau lagi tidur, ganteng juga yah. Ehh, sadar Rina, kamu itu siapa, Pak Emil itu siapa. Aku pun duduk disamping Pak Emil tanpa membangunkannya dan lanjut mengerjakan pekerjaanku. Tanpa kusadari Pak Emil terbangun dari tidurnya.
"Kamu kok nggak bangunkan saya Rina?" tanya Pak Emil seraya mengucek matanya.
"Saya nggak tega membangunkan Bapak yang tertidur pulas. Jadi, saya ngerjain apa yang bisa saya kerjain dulu, Pak!" ucapku seraya mengetik di laptop.
"Ya sudah. Sekarang kita kerjain bareng!" ucap Pak Emil seraya menatap ke arahku.
"Oke Pak. Ini saya kurang paham materi ini, Pak!" ucapku seraya menunjuk materi tersebut kepada Pak Emil.
"Yang ini ya. Ini mah gampang!" ucap Pak Emil seraya memegang mouse dan tanpa kusadari tanganku pun juga memegang mouse. Kami bertatapan, cukup lama Pak Emil menatapku hingga aku pun tersadar dan melepaskan tanganku dari Pak Emil.
"Maaf, saya nggak bermaksud apa-apa. Saya juga nggak sadar kalau dari tadi kamu juga memegang mouse itu!" ucap Pak Emil seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya tau Bapak orangnya sopan dan nggak macam-macam. Lagian tadi juga tanpa kita sadari, Pak!" ucapku seraya tersenyum sumringah ke arah Pak Emil.
Akhirnya pekerjaan pun selesai dan aku pun ingin pulang ke kost an. Aku juga diantar pulang Pak Emil karena dia yang memaksa. Kulihat teman sekantorku membicarakan yang tidak pantas terhadapku.
"Ehh, dasar sekretaris nggak tahu diri. Nempel kayak permen karet sama Pak Emil!" ucap salah satu staff yang bernanmma Dena itu seraya memonyongkan bibirnya.
"Iya, malah mau dianterin pulang lagi. Dasar perempuan tidak tahu diri!" ucap staff lainnya yang bernama Ranti.
"Ihh, dasar sekretaris bermuka dua. Baik-baikin Pak Emil supaya suka sama dia. Mana mungkin Pak Emil suka sama gadis kampung kayak dia!" ucap salah satu staff yang bernama Jihan.
"Nggak baik ngomong gitu, Rina kan juga teman kita. Dia baik loh!" ucap teman kantorku yang bernama Restu.
"Iya dia baik banget. Kok kalian ngomong gitu. Jangan suudzhan!" ucap teman kantorku yang bernama Andi.
Aku pun hanya diam mendengar omongan julid mereka karena kalau dibalas semakin menjadi-jadi. Pak Emil pun menyuruh mereka minta maaf kepadaku, tetapi mereka minta maaf karena terpaksa. Pak Emil pun mengantarkanku pulang. Akhirnya sampai juga di kost anku.
"Terimakasih, Pak sudah mengantarku pulang!" ucapku kepada Pak Emil.
"Sama-sama!" ucap Pak Emil singkat kepadaku.
"Bapak nggah mau singgah dulu?" tanyaku kepada Pak Emil.
"Untuk kali ini nggak dulu karena saya lagi capek. Saya permisi dulu!" ucap Pak Emil.
"Oke, hati-hati di jalan Pak!" ucapku kepada Pak Emil.
***
Sebulan kemudian, aku dan Pak Emil semakin dekat. Bisa dibilang bukan hanya hubungan atasan dan bawahan, lebih dari itu. Sampai suatu ketika Pak Emil mengajakku ke restoran mewah. Tanpa kusangka Pak Emil berlutut dihadapanku.
"Rina, kita sudah mengenal satu sama lain selama setahun ini. Aku mau hubungan kita lebih serius. Will you marry me?" tanya Pak Emil seraya membuka cincin dari kotak cincin.
"Iya Pak. Selama ini memang saya suka sama Bapak, saya juga pengen hubungan kita lebih serius lagi. Tapi, dalam agama saya, tidak boleh menikah dengan laki-laki yang berbeda keyakinan. Kita nggak mungkin bersatu, Pak. Maafkan saya, Pak!" ucapku dengan mata berkaca-kaca.
"Kalau begitu, aku akan pindah keyakinan demi kamu, Rina. Sudah berkali-kali saya bilang, jangan panggil Pak di luar kantor!" ucap Pak Emil kepadaku.
"I-iya, maaf Pak, ehh Emil. Emil aku nggak mau kamu pindah keyakinan karenaku. Keyakinan itu nggak main-main Emil. Kalau kamu pindah keyakinan semata-mata ingin menyempurnakan agama, aku bisa pertimbangkan itu!" ucapku kepada Pak Emil.
"Oke, aku paham!" ucap Pak Emil singkat kepadaku.
"Ingat Emil, jangan pernah pindah keyakinan hanya karena cinta. Cinta itu bisa datang dan pergi kapan saja, saat kamu sudah tidak menginginkannya lagi, maka kamu akan pindah keyakinan lagi!" ucapku seraya menatap ke arah Pak Emil.
Pak Emil terdiam mendengar perkataanku. Hari berganti hari, bulan berganti bulan ternyata Pak Emil kini menjadi mualaf. Aku nggak tau dia pindah keyakinan karenaku atau tidak. Alhamdulillah, Pak Emil paham dengan perkataanku waktu itu. Perih waktu itu saatku menolak orang yang kita cintai. Antara cinta dan keyakinan, itu pilihan yang sulit, tapi aku ingat pesan orangtuaku untuk mengutamakan keyakinan diatas segala-galanya.
Seminggu kemudian, Pak Emil melamarku saat dia sudah resmi jadi mualaf. Dia pun akhirnya paham dengan maksud perkataanku waktu itu. Dia mualaf bukan karenaku, tapi ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan orangtuanya mengizinkan ia memeluk Islam. Sungguh Maha Besar Allah dengan hidayah-Nya.
~END