Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki bentuk pemerintahan berupa demokrasi. Sistem ini memberikan kesamaan hak pada setiap warganya untuk mengambil keputusan, bertindak, dan diizinkan berpartisipasi dalam pengembangan hukum. Bisa dilihat bahwa di setiap periode pemerintahan, demonstrasi selalu dijadikan opsi nyata rakyat menyampaikan harapan-harapan yang ingin diperjuangkan serta didengar oleh pemerintah.
Peran mahasiswa dan mahasiswi juga sangat diperlukan sebagai penggerak suatu perubahan serta membantu rakyat untuk menyuarakan keluh kesahnya. Sudah menjadi tujuan mereka yang termasuk civitas academica diharapkan mampu memberikan perubahan lewat pengabdian serta dedikasi kepada masyarakat.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) telah merajalela dan masyarakat Indonesia diberi kemudahan dalam mengakses segala bentuk informasi. Tidak mengherankan saat ini banyak sekali berita yang disebarkan cuma-cuma lewat sosial media. Beragam situs bisa dengan mudah membuat viral suatu informasi dan akan terjadi pembahasan pelik jika topik yang diangkat termasuk kontroversial.
Seperti yang terjadi pada aksi yang dilakukan di tanggal 11 April 2022. Unjuk rasa tersebut ditujukan untuk mendesak Presiden Joko Widodo agar menolak wacana perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode dan penundaan pemilu 2024.
Perang opini terjadi secara cyber antar tagar #MahasiswaBergerak dan #SayaBersamaJokowi yang bersama merajai trending topic Twitter. Belum juga surut soal adu pendapat tersebut, masyarakat sudah digegerkan lagi oleh kelakuan-kelakuan mahasiswa di lapangan ketika ikut berdemonstrasi. Perkara poster-poster yang dipakai telah mencuri perhatian netizen karena dinilai 'unik'.
Namun, pemakaian poster di aksi 11 April 2022 kali ini menimbulkan keragaman pendapat yang lebih ke arah negatif. Meskipun memang dianggap tak biasa, tetapi poster-poster tersebut dinilai telah melewati batas wajar keunikan sehingga jatuhnya dianggap melenceng.
Beberapa mahasiswi terlihat membentangkan poster di tengah kerumunan massa dengan tulisan yang menuai kecaman publik. Salah satu contohnya berbunyi, "Lebih Baik Bercinta 3 Ronde Daripada Harus 3 Periode". Tak perlu menunggu waktu lama, netizen Indonesia segera menghampiri akun sosial media sang mahasiswi dan membanjirinya dengan komentar-komentar.
Namun, mahasiswi tersebut merasa wajar-wajar saja menggunakan kalimat demikian karena dia mengaku sebagai seseorang yang mempelajari bahasa dan sastra. Pembelaannya adalah bahwa kata-kata tersebut mengandung asonansi kata dan terdapat permainan kata di dalamnya. Dia juga menambahkan, wajar kalau bagi sebagian orang terutama selain anak sastra akan menganggap tulisan tersebut cukup tabu dan sulit dimengerti.
Respon warganet semakin melunjak dan sebagian besar masih tidak terima. Ucapan mahasiswi tersebut tak digubris karena penggunaan tulisan nyeleneh itu dianggap tidak bijak dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Padahal ada sejuta diksi lain yang lebih pantas dan sesuai moral publik untuk digunakan.
Pergeseran makna terjadi di sini dan akibatnya bisa jadi masyarakat benar-benar tervalidasi bahwa ikut turun aksi sebenarnya bukan untuk bersuara soal harapan yang ingin diperjuangkan, melainkan hanya ingin cari perhatian semata.
Konotasi negatif mudah sekali didapatkan jika demikian, maka dari itu tidak seharusnya tulisan tersebut dibawa ke ranah publik. Bagaimana pun juga semua orang dapat melihatnya jelas, apalagi jika sudah viral seperti ini, ada kemungkinan anak-anak di bawah umur juga bisa terpapar.