Lihat ke Halaman Asli

DIVA BULAN PERMANI

Universitas Airlangga

Sexual Harassment di Kampus, Normal?

Diperbarui: 8 Juni 2022   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

TINDAK pelecehan seksual marak terjadi, baik siapa yang berisiko menjadi korban maupun siapa yang menjadi pelaku. Tindak pelecehan dan kekerasan seksual yang begitu merugikan semua pihak ini tidak hanya terjadi di zona-zona rawan, tetapi juga kerap terjadi di lembaga pendidikan, yang seharusnya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban tingkah laku. Contohnya pelecehan yang terjadi di institusi pendidikan tinggi, kasus pelecehan seksual bahkan ada indikasi belakangan ini makin marak.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak tinggal diam menanggapi sumber perkara tersebut. Mendikbudristek Nadiem Makarim telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, berkaitan dengan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Hal itu sebagai langkah awal untuk mengatasi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus yang ia sebut menjadi pandemi.

Mahasiswi kampus yang menjadi korban cenderung  tidak mau melaporkan tindak kekerasan seksual yang menimpanya. Dalam kasus ini, terutama jika pelakunya adalah dosen. Mahasiswi yang menjadi korban takut, jika melapor akan berdampak pada proses perkuliahan yang sedang dijalani.

Stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual, membuat para korban enggan mengungkap kasus yang mereka alami. Sehingga, adanya kemunculan  ancaman tuntutan hukum berupa pencemaran nama baik yang mungkin dilakukan pelaku semakin membuat korban tertekan.

Kasus kekerasan seksual juga memiliki batas waktu. Di Indonesia, hanya tersedia waktu enam bulan sejak kejadian bagi korban untuk melaporkan pelaku kepada pihak berwajib. Jika melewati tenggat itu, ada kemungkinan laporan tidak akan diproses. Perspektif korban bisa diterapkan ketika penegak hukum tidak sepenuhnya bertumpu pada fakta bahwa pemaksaan sangat mungkin dilakukan dalam kasus kekerasan seksual. Tidak boleh ada spekulasi, bahwa tindakan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Meski sulit sekali, unsur ancaman dan pemaksaan ini bisa menjadi alat bukti, disamping korban itu sendiri. P enegak hukum memahami relasi kuasa antara pelaku dan korban yang biasanya timpang, sehingga korban cenderung tidak melawan ketika tindakan kekerasan seksual dilakukan.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengatakan, perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa dan negara. Ia mencontohkan, negara Indonesia memiliki banyak tokoh perempuan pejuang kemerdekaan, pejuang pendidikan, dan pejuang bagi keluarga. Namun, data menunjukkan adanya kerentanan perempuan karena mengalami kekerasan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan dibentuknya Satuan Petugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual terhadap perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline