Lagi-lagi kejanggalan terjadi terkait kebebasan individu atas hak untuk berekspresi yang dibatasi.
UUD NRI 1945 sebagai ketentuan yuridus, termuat dalam Pasal 28, 28E, dan 28F, di mana mengatur adanya ketentuan bagi setiap individu mempunyai hak untuk menyatakan diri baik sifatnya secara lisan ataupun tertulis, serta berkomunikasi dan mencari, menerima, memiliki, menyimpan, mengolah dan kemudian mengrimkan informasi dengan menggunakan semua saluran yang tersedia.
Yang seharusnya ada dukungan untuk “sebebas-bebasnya berkespresi”, namun telah dirusak oleh undang-undang, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru yaitu UU Nomor 1 Tahun 2023
tentang KUHP dan Revisi UU ITE, pada khususnya yang termuat pada UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Secara substansi pada aturan tersebut masih ditemukan pasal-pasal karet yang bermasalah, yakni sebagai bentuk kediktatoran digital dengan melanggengkan kekuasaan elit yang #antikritik. Akibatnya, bagi setiap individu untuk bebas akan pemberian ekspresi melalui media online atau secara langsung terjadi pengkikisan.
Menjadi bagian penekanan pada aspek krusial yang ada pada “KUHP baru dan revisi UU ITE” ini memuat semacam ancaman pada aktivitas kebebasan berekspresi yang mampu merusak marwah demokrasi yang sekarang ini banyak amanat yang menyebutkan demokrasi telah terjadi regresi (kemunduran).
“Kemunduran yang tidak malah diperbaiki, malah terus dikorupsi dengan pasal kontroversial agar tidak mau dimaki-maki”
Pengesahan UU KUHP dan Revisi UU ITE menjadi genting terhadap situasi digital di Indonesia. Penulis menyebutnya, situasi yang mendekati kediktatoran itu terjadi. Misalnya, memerangi bentuk kegiatan penyerangan dan pencemaran nama baik, memberikan kriminalisasi atas penyebaran berita palsu bagi individu, menjatuhkan hukuman bagi kaum minoritas agama yang menjalankan penodaan agama itu sendiri, terlebih adanya peningkatan terhadap resiko korban yang mengalami re-viktimasi, serta pemutusan akses kepada publik akan lebih memperpanjang ancaman bagi masyarakat untuk memperoleh informasi dan hak kebebasan berekspresi di Indonesia nantinya.
Beberapa ambiguitas yang ada dalam penjelasan pasal-pasal tersebut nampaknya juga memberikan musibah bagi kalangan minoritas gender atau hak-hak pada perempuan. Tentu, sangat memprihatinkan dan perlu tindak penegasan untuk memberikan keadilan pada perlindungan kebebasan berekspresi dan mereka para aktivitas yang berjuang untuk memerdekakan bentuk hukum yang berkonotasi merusaki demokrasi.
Bukti: klausul UU KUHP baru misalnya pada Pasal 218-220 yang didalamnya memuat adanya pelarangan untuk melakukan tindakan yang menghina presiden. Kemudian diperluas melalui Pasal 240 dan 241 yang memasukkan penghinaan pada lembaga-lembaga negara. Sehingga, apapun bentuk penghinaan yang dilontarkan dianggap sebagai perbuatan-perbuatan pelanggaran pidana. Terlebih, Pasal 353-354 juga menegaskan adanya penjatuhan hukuman (berupa penjara) atas penghinaan yang ditargetkan kepada kekuasaan publik dan lembaga-lembaga negara.
Konkritnya, melalui mekanisme hukum seperti itu, dengan pasal-pasal karet kemudian dijadikan alat untuk membungkam kebebasan berekspresi publik berupa kritikan kepada pejabat publik yang ada dalam tatanan lembaga-lembaga negara tersebut. Pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat-pun akan terhambat disini.
Terhambatnya kritik masyarakat yang diajukan kepada pemerintah atau pihak-pihak yang terlibat dengan otoritas atas kekurangan yang ada serta sistem atau peristiwa disebabkan oleh potensi distorsi kritik yang menyebabkan pelanggaran itu berada di bawah hukum pidana, sehingga menimbulkan kesulitan untuk terbukanya hak-hak berekspresi.