Pendidikan bukan sesuatu yang bisa disederhanakan, sebab terkait dengan bagaimana konteks Sosial, Budaya, Ekonomi, Politik dalam suatu negara. sebagaimana Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas No 20/ 2003), yang merupakan salah satu perangkat pendidikan yang semestinya dirumuskan secara baik dan proporsional. Sebab, UU Sisdiknas itu berisi bagaimana tujuan Visi dan Misi, hingga mekanisme prosedural pendidikan diatur, dengan tidak melepaskan konteks sosial-politik saat ini dan masa depan. Oleh karena itu, tak salah apabila baik dan buruk sistem pendidikan dapat dilihat dari keberadaan UU, dan sistem pendidikannya.
Pendidikan merupakan salah satu pilar demokrasi yang mencerminkan tegaknya sebuah negara. Melalui pendidikan kaderisasi calon pemimpin bangsa dibentuk, tentu kader yang cerdas, berwibawa, dan memiliki daya inovatif tinggi untuk menciptakan negara lebih baik. Namun, bagi Indonesia, pendidikan justru menjadi pilar yang diperjual-belikan. Artinya, pendidikan seolah menjadi ajang untuk ‘jual-beli kecerdasan’ dengan harga cukup fantastis.
Hampir setiap tahun ajaran baru (baca; bulan Juli), aksi pelacuristik -istilah saya-sejumlah institusi pendidikan terlihat menusuk harkat kemanusiaan kita. Jargon sekolah gratis ternyata menjadi kebohongan publik yang paling legal. Iklan bohong itu terus gencar dilakukan demi meraih simpati publik. Realitasnya, masih banyak pungutan dengan berbagai alasan yang membelit urat ekonomi para orang tua siswa.
Hanya karut-marut yang selalu kita pergoki. Mulai dari kondisi gedung sekolah yang tidak layak pakai, kekurangan sarana belajar, buruknya kualitas guru, sampai mahalnya biaya pendidikan yang mesti ditanggung orang tua murid.
Tak hanya itu. Lulusan yang dihasilkan pun banyak yang tak memiliki keahlian dan kerap limbung meniti hidup. Proses pembelajaran di sekolah tak lebih hanya melangsungkan pengajaran dan menghafal, tanpa pembuktian nyata.lhat saja kondisi pendidikan yang ada di NUSA TENGARA BARAT di bawah satu skema MP3EI (ketahanan pangan dan pariwisata) justru kualiatas pendidiknya sangat terbelakang hal itu sesui engan data SDM manusia NTB berada pada urutan ke 2 terendah dari bawah dari 24 provensi yang ada di indonesa,hal iuterjadi karena PBD NTB hanya menganggarkan 1,57% untuk sektor pendidikan" Data yang dikeluarkan BPKLN Kemendikbud menyebutkan alokasi anggaran untuk pendidikan oleh Pemerintah Provinsi NTB tahun 2015 hanya 1,57 persen dari total APBD NTB (diupdate antara news tanggal 25 April 2016). Padahal pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 mengamanahkan alokasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari APBN dan APBD. Jumlah keseluruhan siswa di NTB dari semua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas adalah 1,13 juta siswa. Sehingga, jika total anggaran pendidikan dari APBD NTB yang hanya 37 Miliar dibagi untuk setiap siswa, maka setiap siswa di NTB hanya mendapatkan sekitar Rp. 41.500 setiap tahun. Oleh karena itu, jika dilihat dari alokasi anggaran per siswa NTB menempati urutan 33 dari 34 provinsi, dan hanya lebih baik dari NTT yang alokasi anggara per siswanya hanya Rp. 36.700. Rendahnya alokasi anggaran dari APBD NTB berdampak langsung terhadap kualitas keluaran/output pendidikan di NTB. Pada tahun 2014 bahkan sampai saat ini, NTB tercatat sebagai provinsi dengan persentase penduduk buta aksara tertinggi di Indonesia yakni 10,62% (315.528 orang) jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya 3,7%. Tingginya angka penduduk tuna aksara berpengaruh langsung kepada Indeks Prestasi Manusia (IPM) NTB sehingga menempatkannya di urutan 30 dari 34 provinsi. tingginya angka penduduk yang buta aksara tersebut juga diikuti dengan tingginya angka penduduk busung lapar di NTB, sehingga menempatkan NTB pada peringkat kedua tertinggi angka busung laparnya dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Kondisi sekolah di NTB juga sangat memprihatinkan. Sebagian besar sekolah di NTB ternyata belum terakreditas terutama untuk sekolah menengah pertama dan sekolah kejuruan. Tercatat, dari 266 SMK yang ada, 70,3 persen belum tersertfikasi, sisanya 13,2 terakreditasi C, 9,4% terakreditasi B, dan hanya 7,1% yang terakreditasi A. Dari 837 SMP, 45% belum terakreditasi. Ini artinya, masih banyak sekolah di NTB yang menyelenggarakan pendidikan dengan kondisi a la kadarnya. Bahkan untuk SD sekitar 2.338 ruang kelas kondisinya rusak parah, 12.274 rusak ringan, dan hanya 3827 yang berada dalam kondisi baik (Rumput_Teki.htm).
Dari uraian cukup panjang di muka, dapatlah dikatakan pendidikan kita ternyata belum mampu meresapi makna dan menjalankan cita-cita bapak pendiri bangsa ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dunia pendidikan kini hanya diciptakan bagi mereka yang mampu secara finansial, dan sebaliknya merampas hak-hak kaum miskin yang punya hak sama mengenyam pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H