Pengertian Si Gajang Laleng Lipa
Sigajang laleng lipa adalah sebuah tradisi masyarakat Bugis untuk menyelesaikan sebuah masalah dan telah dilakukan pada masa kerajaan beberapa tahun yang lalu.
Tradisi Sigajang Laleng Lipa dilakukan oleh dua orang yang berduel dalam satu sarung menggunakan badik/kawali (senjata tradisional masyarakat bugis).
Tradisi ini dilakukan ketika ada pihak yang bertikai yang tidak bisa terselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, walaupun nyawa jadi taruhannya. Karena ke 2 keluarga tersebut merasa benar, maka permasalahan ini harus diselesaikan dengan Sigajang Laleng Lipa.
Namun jika melakukan sigajang kedua bela pihak yang bertikai tidak harus lagi ada rasa dendam yang terpendam dan menganggap perkara sudah selesai. Hasil pertarungan dari Sigajang Laleng Lipa kebanyakan berakhir imbang, sama-sama meninggal, atau keduanya sama-sama hidup.
Sigajang Laleng Lipa adalah ritual pertarungan yang cukup mematikan. Namun, kita dapat melihat makna-makna positif dari tradisi ini seperti adanya pemecahan masalah melalui musyawarah dan mufakat dan tidak menggunakan ego dalam banyak hal kalau tidak ingin ada korban jiwa.
Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini telah ditinggalkan oleh masyarakat bugis makassar dan kini tradisi Sigajang ini telah dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur Sulawesi Selatan, yang biasanya dipentaskan diatas panggung. Adapun Nilai-nilai dari ritual Sigajang Laleng Lipa (duel satu sarung), yang diartikan sarung sebagai simbol persatuan dan kebersamaan masyarakat Bugis Makassar, berada dalam satu sarung berarti kita dalam satu habitat bersama. Jadi sarung yang mengikat kita bukanlah ikatan serupa rantai yang sifatnya menjerat, akan tetapi menjadi sebuah ikatan kebersamaan di antara manusia.
Proses Terjadinya Si Gajang Laleng Lipa
Kenapa bisa terjadi tradisi si gajang laleng lipa? Jadi begini ceritanya. Masyarakat Bugis sangat menjunjung tinggi rasa malu atau dalam bahasa setempat adalah Siri. Dalam adat disebut bugis terdapat konsep Ade', Siri na Passe. Ade' adalah adat istiadat yang mesti dijunjung oleh masyarakat bugis, sedangkan Siri (malu) na Passe (rasa iba) adalah sikap yang tertuang dalam ade' tersebut.
Pentingnya Siri dalam masyarakat Bugis sangat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, sehingga ada pepatah bugis yang menyatakan bahwa hanya orang yang punya siri yang dianggap sebagai manusia. Naia tau de' gaga sirina, de lainna olokolo'e. Siri' e mitu tariaseng tau (Barang siapa yang tidak punya siri (rasa malu), maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang. Bahkan siri ini sangat berarti bagi masyarakat Bugis seperti dalam pepatah berikut "Siri Paranreng Nyawa Palao", yang artinya : "Apabila harga diri telah terkoyak, maka nyawa lah bayarannya".
Hubungan Tradisi tersebut dengan zaman modern