Lihat ke Halaman Asli

Bidan Desa vs Mak Paraji , Siapa yang Disalahkan ?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tulisan ini saya buat setelah saya mendengarpengalaman langsung dari seorang bidan desa di salah satu puskesmas di Kabupaten “B”, daerah geografis yang sulit di jangkau dan banyaknya perbukitan serta pegunungan menjadi salah satu kendala yang dialami oleh tenaga kesehatan terutama bidan yang di tempatkan di wilayah yang terpencil tersebut.Kendala lainnya di daerah ini masyarakatnya masih sangat percaya kepada paraji untuk menolong proses persalinan di desa, masyarakat merasa lebih nyaman bila di damping mak paraji dibandingkan dengan didampingi tenaga kesehatan. Fenomena ini terjadi karena mak parajilebih bisa memenangkan ibu-ibu yang akan bersalin juga lebih sabar menemani nya. Selain itu pula dari segi pembiayaannya, masyarakat beranggapan bahwa dengan persalinan di tolong oleh paraji lebih murah dan lebih bisa dijangkau dari pada persalinan oleh tenaga kesehatan. Namun apa akibatnya bila pertolongan persalinan masih ditangani paraji? Penyebab kematian ibu hamil terbesar adalah adanya pendarahan, pre eklamsi dan infeksi.Akar masalah penyebab tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi tetap saja tidak dapat diturunkan, bahkan dapat bertambah banyak jumlah ibu bersalin yang meninggal yang diakibatkan oleh 3T (terlambat mengambil keputusan,terlambat merujuk, terlambat mendapat pertolongan oleh tenaga kesehatan), tidak sedikit ibu hamil yang di tolong oleh paraji akhirnya datang ke bidan dalam kondisi sudah mengalami pendarahan hebat sehingga tidak dapat di tolong lagi. Hal ini harusnya tidak boleh terjadi, mengingat bidan berperan penting memasyarakatkan reproduksi yang sehat untuk menekan melonjaknya jumlah kematian ibu bersalin.Di tahun 2012 berdasarkan data SDKI tahun 2013 angka kematian ibusebesar 359/100.000 kelahiran hidup.Jauh sekali dari target MDGs yang harus dicapai yaitu 102/100.000 kelahiran hidup.

Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI tahun 2013, jumlah bidan di puskesmas non perawatanmasih kurang sebanyak 16,06% sedangkan di puskesmas perawatan masih kekurangan sebanyak 12,62%. Dilihat dari data tersebutberarti jumlah bidan di Indonesia memang masih kurang dilihat dari segi kuantitas, namun selain dari kuantitasnya, dari kualitas bidannya pun harus kita perkuat lagi dengan menambah pengetahuan dan pelatihan kepada bidan-bidan, terutama bidan baru yang ditempatkan di daerah pedalaman. Terkadang bidan yang baru menginjakkan kaki di desa untuk menolong persalinan masih takut menangani, terlebih lagi bidan dari lulusan lembaga pendidikan yang “Ecek-Ecek”, yang ujung-ujunganya menolong persalina dengan partus pandang atau secepatnya merujuk ke rumah sakit karena takut disalahkan apabila terjadi sesuatu hal yang beresiko timggi, padahal kasus persalinan tersebut masih bisa ditangani secara persalinan normal. Hal ini menjadi perhatian penting bagi lembaga pendidikan kesehatan agar dapat melahirkan lulusan-lulusan yang berkualitas dan kompeten di bidangnya. Dalam Permenkes no. 922/ Menkes / SK/X/ 2008 diatur mengenai pengendalian mutu pendidikan tenaga kesehatan yang terdiri atas :

1.Ujian akhir program, berupa penetapan ujian akhir nasional program pendidan tenaga kesehatan

2.Evaluasi, melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan tenaga kesehatan

3.Akreditasi, berupa penetapan akreditasi tenaga kesehatan.

4.Penjamin mutu,, berupa supervise dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan tenaga kesehatan dan evaluasi pelaksanaan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala nasional.

Standar profesi tenaga kesehatan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996, dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa “ setiap tenaga kesehatandalam melakukan tugasnya berkewajiban untukmematuhi standar profesi tenaga kesehatan.Bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk : (1) menghormati hak pasien; (2) menjaga kerahasiaanidentitas dan datakesehatanpribadi pasien; (3) memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dantindakan yang akan dilakukan; (4) meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan, (5) membuat dan memelihara rekam medis. Dari pedoman standar profesi diatas maka setiap tenaga kesehatan wajib memahami profesi yang dijalani.

Rendahnyakualitas tenaga bidan di desaakan berimplikasi pada rendahnya kualitas layanan yang diberikan.Penguatankompetensi dankualitas bidan juga memerlukan keselarasanpola pembinaan dan pelatihanjuga keterampilankerja, Disamping kasus diatas, namun masih banyak bidan-bidan teladan yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil, gigih menolong persalinan bahkan siap dipanggil kapan saja, jam berapa saja bila memang diperlukan. Walau harus melewati jalan licin berbatu, tengah malam bahkan harus menyeberangi sungai. Mata rantai pertolongan oleh paraji memang sulit untuk di putus, namun ada beberapa solusi yang mungkin dapat ditempuh antara lain :

1)Melakukan perjanjian kerjasana (MoU) antara Bidan dan paraji, agar paraji mendampingi persalinan namun persalinan di tolong oleh tenaga kesehatan.

2)Menberikan biaya pendampingan kepada paraji yang mau mendampingi persalinan di tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan tingkat I

3)Memberikan biaya pendidikan kepada anak-anak dari paraji agar mau disekolahkan kebidanan, sehingga kelak dapat menjadi bidan desa di daerah tersebut.

Selain itu juga jalan yang harus ditempuh agar dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia, jangan hanya menyalahkan pertolongan persalinan oleh bidan dan paraji saja, pengetahuan dari ibu hamil tentang pentingnya memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan mutlak diperlukan dengan adanya sosialisasi dan mengaktifkan kelas ibu hamil di puskesmas. Usaha lainnya yang tidak kalah pentingnya adalahmelengkapisarana prasarana di pelayanan kesehatan tk. I dengan meningkatkan status puskesmas non perawatan menjadi puskesmas dengan tenpat perawatan atau puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatus Emergensi Dasar), menciptakan desa siaga aktif yang dengan siap siaga mempunyai ambulance desa bila dalam kondisi darurat harus secepatnya merujuk pasien sehingga mencegah tiga terlambat pada ibu hamil.Bukan saja pemerintah desa saja yang harus peduli, tingkat kecamatan, kabupaten , bahkan propinsi juga tingkat pusat tidak dapat berdiam diri terhadap jumlah kematian ibu dan bayi yang belum dapat di tekan sampai dengan tahun 2013. Dengan adanya kepedulian dari seluruh lapisan masyarakat semoga saja di tahun tahun selanjutnya angka kematian ibu di Indonesia dapat menurun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline