Lihat ke Halaman Asli

Kebenaran Mutlak, Adakah?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya sedikit ingin mengajak kita belajar untuk berfilosofi. Bukan harus menjadi filsuf, namun setidaknya tulisan ini sedikit akan mengasah otak kita. Dalam rangka – sesaat – melepaskan kita dari kepenatan berpikir; atau, malah – akan – bertambah penat?

Teori kebenaran, menjadi sebuah teori yang asyik untuk diperbincangkan.  Teori kebenaran, secara otomatis merupakan teori tentang kesalahan juga.  Teori kebenaran, adalah teori pertama yang ditemukan, dan tidak akan pernah berakhir.  Teori kebenaran, memungkinkan berkehidupan manusia menjadi dinamis, dan terus menggeliat untuk tetap mencari kebenaran sejati.  Teori kebenaran, akan membawa manusia menjadi manusia yang utuh, sempurna, serta terjaga prilaku dan etos berkehidupannya.  Lalu, sebuah pertanyaan mudah namun sulit untuk dijawab muncul pada akhirnya, yaitu pertanyaan mengenai kebenaran mutlak.  Apakah kebenaran mutlak tersebut?  Apakah kebenaran mutlak tersebut benar-benar ada?  Dan, apa juga yang disebut dengan kebenaran relatif?

Saya pernah mendapat ilmu kecil bermakna besar mengenai kebenaran ini.  Sebagai seorang peneliti, ada istilah yang sangat menarik untuk dicermati.  ‘Hasil penelitian itu boleh atau bisa saja salah, namun tidak boleh hasil dari upaya berbohong’.  Pada statemen tersebut, unsur kebenaran relatif menjadi dominan; sebuah kebenaran atas akuan seseorang yang bersifat pribadi.  Kesimpulan sebuah penelitian atau kajian keilmuan atau analisis nalar dan logika atas sesuatu, bisa saja – pada saat ini – nilai kebenarannya terbukti secara absah dan berdasarkan fakta empiris; namun lantas bisa saja – esok harinya – terbantahkan.  Inilah yang disebut kebenaran relatif.  Setiap apa yang dihasilkan dan disimpulkan oleh manusia, adalah merupakan kebenaran relatif; sebuah kebenaran yang dapat berubah berdasarkan fungsi waktu.  Kebenaran relatif ini dapat – dengan sangat mungkin – terbantahkan.  Berarti ada sebuah pedoman, acuan, atau rujukkan yang berupa kebenaran lain, sehingga mampu menyangkal kebenaran sebelumnya? Sebuah pertanyaan yang sebenarnya merupakan sebuah jawaban.

Jawabannya, benar sekali.  Penyangkalan atas sebuah kebenaran sebelumnya dengan kebenaran lain, tentu merupakan hasil rujukan atas kebenaran sesungguhnya yang bermakna mutlak.  Walau, kemutlakan atas kebenaran tersebut, kemudian kembali disimpulkan oleh manusia untuk membantah kebenaran yang terdahulu, yang akan kembali bersifat relatif.  Hanya, kebenaran mutlak itu – haruslah – ada.  Karena, tidak mungkin ada kebenaran, jika tidak ada kesalahan.  Karena, kebenaran dan kesalahan secara alamiah tercipta agar manusia dapat memilih dan terus mencari serta terus menelaah.

Kalau semua benar, tentu mubazir kita membuat peraturan dan hukum yang merujuk pada nilai-nilai kebenaran; karena tidak ada orang yang berlaku salah.  Jika semua benar, berkehidupan tidak akan sedinamis sekarang; karena seharusnya manusia di dalam berkehidupannya, sejatinya dilakukan dalam rangka mencari kebenaran mutlak.  Jika semua benar, setiap saat manusia akan saling gontok-gontokan memperjuangkan kebenarannya masing-masing.  Dari pada merasa benar, lebih baik kita menjadi pribadi yang selalu merasa salah; karena dengan itu, kita akan terus mencari kebenaran mutlak yang bersifat hakiki dan sejati tersebut.  Sampai pada suatu saat, kita menemukan kebenaran mutlak tersebut, meyakininya sekuat daya nalar kita, mengejawantahkannya dalam berkehidupan kita, serta – pada saatnya nanti, mau tidak mau – kita harus menyampaikannya... [dnu]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline