Lihat ke Halaman Asli

Satria Piningit Kok Ditunggu...

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap manusia tercipta dengan gen kepemimpinannya masing-masing.  Gen yang telah menjadi titik awal sifat genetik, yang melekat pada setiap manusia secara individu.  Setidaknya, gen kepemimpinan ini ada, dan menjadi sumber karakter jiwa kepemimpinan – minimal – untuk memimpin dirinya sendiri, untuk menjadi manusia utuh yang berjalan pada pondasi benar.  Gonjang-ganjing pemilihan pemimpin bangsa yang sedang diajukan untuk dipilih, menjadi sebuah keniscayaan pada akhir-akhir ini.  Khususnya di Indonesia, yang menganut paham demokrasi di dalam menentukan pilihan tersebut.  Terlepas para pemilihnya mengenal atau tidak mengenal secara lengkap para calon pemimpinnya yang akan dipilih, para pemilih dipaksa ‘atau terpaksa’ harus tetap untuk memilih.

Saya tidak ingin memperdebatkan hal tersebut.  Pada artikel ini, saya hanya ingin mencoba fokus untuk mengupas sedikit mengenai dimensi pendidikan dalam sebuah kerangka sistem yang holistik, dalam hubungannya dengan telaah kepemimpinan.  Andai kata, rancangan sistem pendidikan Indonesia didirikan dan dijalankan pada pondasi kurikulum dalam rangka mengkader, mencetak, dan membentuk para pemimpin bangsa; dan bukan dalam rangka memproduksi para pegawai atau pekerja, para budak atau kacung; tentu, Indonesia tidak akan pernah kekurangan calon pemimpin kompetennya.  Seorang calon pemimpin yang utuh dan sempurna pada kadar kapasitas seorang manusia.

Peran sistem pendidikan jelas sangat dominan dalam hal ini.  Peran sistem pendidikan ini memiliki amanah yang sangat agung dan luhur.  Peran yang seharusnya terjaga kualitasnya dari berbagai aspek perusak.  Karena, sistem yang satu ini bertanggungjawab penuh atas ‘membentuk pemimpin’ bangsa tersebut.  Pengkebirian pada asupan ilmu yang sesungguhnya, adalah salah satu faktor para lulusan masih meraba-raba ‘jalan’ menuju kebenaran sesungguhnya.  Harusnya, sistem pendidikan mampu menjadi kompas untuk menunjukkan ke arah mana jalan yang harus ditempuh, untuk mencapai hakiki berkehidupan.  Sehingga memang, tidak ada cara lain, bahwa sistem pendidikan harus dibangun, didirikan, dijalankan, dan dikontrol di atas pondisi, cara, oleh pelaku dan dengan roh kebenaran yang sebenarnya.  Bukan dibangun atas tujuan keuntungan, atau didirikan di atas ide jual beli, atau dijalankan dengan sifat transaksi bisnis, atau digulirkan bukan untuk menyampaikan pemahaman yang seharusnya, atau juga dikontrol oleh sebuah mekanisme yang kadang bisa diperjualbelikan, atau bahkan disetir oleh kekuatan politik tertentu.  Tentu bukan, bukan itu semua.  Namun, beberapa jenis mal-praktek itulah yang – kadang – terjadi di sistem pendidikan Indonesia.  Memang, sungguh sangat ironis.

Hakikatnya, setiap manusia memiliki bagian kromosom kepemimpinan di dalam dirinya masing-masing.  Tergantung bagaimana manusia tersebut terukir, terkawal, terbentuk, dan tercetak oleh lingkungan dan sistem pendidikan yang seharusnya.  Agar Indonesia memiliki pemimpin yang sesungguhnya, pemimpin yang paripurna, penegak kebenaran, pengawal bangsa ini menjadi bangsa yang baldatun toyyibatun warabbun ghafur; tidak ada kata lain, maka sistem pendidikanlah yang seharuslah menjadi prioritas pembenahan dari bangsa ini terlebih dahulu.

Untuk kesekian kalinya.  Setiap artikel saya tentang opini kebenaran, moral, dan kebangsaan; yang tentu tidak akan pernah lepas dari unsur pembicaraan di ranah pendidikan ini; mungkin hanya sebuah torehan pilu hati seorang pendidik yang sedang bersusah payah menjalankan perannya seoptimal mungkin.  Ide sistem pendidikan berbasis contoh benar (baca: Contoh Benar, nah ini Baru Penting) yang selalu saya dengungkan, bisa menjadi salah satu solusi yang solutif bagi sistem pendidikan Indonesia.  Karena, hakikat pendidikan adalah contoh atau keteladanan.  Baik contoh atau keteladanan secara pribadi, institusi atau komunitas, bahkan contoh atau keteladanan secara bangsa.

Pada akhirnya, satu hal yang ingin saya tekankan disini, bahwa pemimpin itu bukan untuk dinanti, satria piningit itu bukan untuk ditunggu; namun setiap elemen bangsa Indonesia, seharusnya mulai untuk – bahu membahu – menjadi pendidik atas perannya masing-masing.  Menjadi pendidik yang terlibat secara nyata di dalam sistem pendidikan pada skala luas, baik secara langsung maupun tidak langsung, secara formal maupun informal, baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan kampus.  Karena, sejatinya, pemimpin bangsa Indonesia yang akan datang itu bukan untuk dinanti atau ditunggu; namun harus dikader, dicetak, dan dibentuk di dalam sebuah aktivitas berorientasi proses pada sistem pendidikan ideal yang tidak pernah mengenal kata letih. Jadi, satria piningit kok ditunggu... [dnu]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline