Lihat ke Halaman Asli

Dita Utami

ibu rumah tangga

Ingatlah Sejarah dengan Konteksnya

Diperbarui: 16 Oktober 2021   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

republika.co.id

Dari tahun ke tahun kita selalu diingatkan dengan banyak peristiwa yang mencerminkan keinginan segelintir orang soal berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) atau semacamnya. Keinginan mereka ini dengan alasan dengan berdirinya negara yang berdasarkan syariat agama maka itu yang diridhoi Allah.

Dalam pandangan mereka , Indonesia tidaklah seperti yang mereka impikan. Banyak orang yang berbeda keyakinan dengan mereka dan juga etnis yang berbeda. Ibarat sayur, mereka menuntut seluruh sayur sama jenis dengan sayur mereka.

Padahal sejarah terbentuknya Indonesia tidaklah berdasarkan persamaan agama, tapi persamaan cita-cita menjadi negara merdeka bebas lepas dari penjajah. Rentang Indonesia dari Sabang sampai Merauke menyebabkan kita begitu beragam. Itu juga sebabnya the founding fathers kita memperhatikan keragaman ini. Mulai dari etnis yang berbeda, bahasa yang berbeda dan keyakinan yang berbeda. Belum geografi yang membentang luas baik darat maupun laut, juga gunung dan lembah. Karena itu selain sudah Jawa dan Islam yang dominan saat itu, para tokoh bangsa itu memperhatikan juga suku Aceh, Ambon, Bali, NTT, Dayak dll. Juga keyakinan yang berbeda seperti Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Juga Kong Hu Chu dan aliran kepercayaan.

Pembentukan negara dan pemilihan dasar negara memang dilandaskan karena keragaman ini sehingga bisa dikatakan keragaman adalah modal utama. Nah jika segelintir orang menginginkan negara ini seragam ( satu keyakinan ) atau satu suku bangsa, jelas tidak bisa diterapkan. Kita tahu dalam sejarah, NII pernah muncul tahun 1949 dan kemudian tahun 1962 dilarang karena memang tidak sesuai dengan landasan bangsa.

Meski dibubarkan, ternyata beberapa pihak masih saja punya cita cita untuk mendirikan negara dengan landasan agama yang berbeda. Kita tahu Jamaah Islamiyah (JI) atau juga JAD yang juga mengusung nilai agama sebagai dasar negara.

Mereka melihat orang lain yang berbeda sebagai musuh dan harus dibinasakan. Mereka 'menerjemahkan' teks dalam sejarah Islam sebagai teks formal yang tidak berkonteks. Padahal Nabi Muhammad belajar dari perjuangan beliau bersyiar di Makkah dan membangun pola yang berbeda saat di Madinah. Di Madinah beliau mampu hidup harmoni dengan kaum (suku dan agama) yang berbeda dengan beberapa aturan yang disepakati bersama.

Dengan konteks sejarah Islam seperti ini maka kita sebenarnya bisa meneladaninya. Bahwa Islam adalah agama dengan misi damai dan bisa bersinergi dengan agama /suku lainnya dengan saling tidak menganggu dan saling menghormati. Jika kita koherenkan dua hal itu (sikap Nabi di Madinah) dan kebangsaan kita Indonesia maka seharusnya lah kita bisa menjadi hidup bersama dengan pihak lain.

Dan keinginan untuk membentuk NII termasuk merekrut generasi muda tidak akan terjadi lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline