Sekitar tiga tahun lalu beberapa lembaga melakukan survey soal nasionalisme, diantaranya oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat serta Rumah Kebangsaan. Penelitian itu lebih tepatnya ingin tahu soal dukungan publik terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), juga ingin tahu soal tingkat radikalisme di seratus masjid kantor pemerintahan .
Survey itu menghasilkan data yang cukup mencengangkan. Karena sebagian besar dari orang-orang yang bekerja untuk pemerintahan justru terkesan menghindari Pancasila. LSI juga menemukan bahwa nasionalisme telah tergerus dan beberapa malah menunjukkan tingkat radikalisme dan ekstremisme meningkat.
Ekstremisme adalah ladang subur berkemangnya benih-benih aksi kekerasan dan terorisme. Dia hidup dan berkembang tidak hanya pada tingkat tindakan, tetapi juga pada cara berfikir. Tidak juga berlaku pada generasi yang sudah sepuh seperti kita lihat pada beberapa tokoh beraliran radikal yang memimpin pondok pesantren, namun juga pada kepada generasi muda termasuk anak-anak.
Bidang pendididkan adalah salah satu ladang yang paling empuk untuk menyebarkan ekstrimisme. Karena proses belajar mengajar adalah kewenangan para guru. Jika ada penilik, sesuatu sering bisa ditutupi, namun pengajaran itu sendiri tetap hidup di benak anak-anak didik.
Seringnya kita dapat soal ujian yang mengarah pada faham intoleransi menunjukkan bahwa bidang poendidikan amat rentan dengan faham intoleransi, radikal dan ekstremisme. Ekstremisme bahaya karena tidak saja menyoal kekerasan tetapi juga soal keyakinan yang sulit untuk diubah dan merasa superior. Perasaan ini menghasilkan sikap diskriminatif kepada pihak lain yang berbeda dengannya. Perasaan superior juga menghasilkan perasaan ingin mengubah orang lain atau mengkader orang lain.
Upaya mengkader ini cukup unik karena jika pengkaderan berhasil dengan baik, maka mereka akan masuk dalam lingkungan eksklusif dan terus merasa berbeda dengan orang lain. Jika pengkaderan gagal seringkali menghasilkan putusnya hubungan dengan orang lain termasuk dengan keluarga. Titik tolak perubahannya adalah ketika seseorang mulai merasa tidak nyaman berelasi di luar kaumnya sendiri, cenderung tidak ingin berinteraksi dengan keyakinan berbeda ataupun mereka yang memiliki cara berpakaian berbeda.
Proses dan fenomena ini paling mudah dapat kita lihat pada diri pelaku bom gereja Katedral di Makkasar. Dia dan istrinya menjauh dari keluarga dan lebih dekat dengan lingkungan eksklusif mereka. Begitu juga pelaku penyerangan di Mabes Polri menunjukkan bahwa dia banyak tidak setuju dengan keputusan keluarganya.
Karena itu Perpres soal pencegahan dan penanggulangan ekstremisme membawa kita bisa lebih perhatian soal ekstremisme ini. Dengan begitu kita bisa lebih menjaga lingkungan dan para generasi muda dari bahaya ekstremisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H