Lihat ke Halaman Asli

Dita Utami

ibu rumah tangga

Lindungi Anak dengan Agama dan Kearifan Lokal

Diperbarui: 27 Juli 2019   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Toleransi - kompasiana.com

Semua orang sepakat, bahwa anak adalah generasi penerus orang tua, keluarga, lingkungan, bangsa dan negaranya. Anak merupakan cikal bakal. Anak merupakan benih dari apa yang akan tumbuh. Karena anak merupakan benih, maka harus dirawat benih ini agar bisa tumbuh. Untuk bisa tumbuh, harus banyak dibekali dengan bekal yang benar. Apa bekal yang benar itu? Agama dan budaya. Dalam konteks Indonesia, perpaduan dari keduanya merupakan hal yang tak terpisahkan.

Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, tidak pernah menggusur budaya yang ada. Ketika Islam masuk ke Jawa, juga tidak pernah menggusur agama yang telah ada. Yang terjadi adalah akulturasi antara agama dan budaya. Dalam jejak sejarah yang ada, Islam bisa berakulturasi dengan agama yang lain, ataupun dengan budaya yang ada. Perpaduan itulah yang kemudian melahirkan toleransi, gotong royong, tepo seliro dan segala macamnya, atau disebut nilai kearifan lokal.

Nilai-nilai agama dan budaya juga diadopsi dalam Pancasila, yang kemudian dijadikan dasar negara. Dan dasar negara itu masih kokoh dan berlaku hingga saat ini. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial, merupakan perpaduan nilai-nilai agama dan budaya. Hampir semua agama yang ada di negeri ini menganut konsep tersebut. Dan hampir semua budaya yang melekat pada masing-masing suku yang ada, juga menganut nilai-nilai kearifan lokal.

Agama dan budaya inilah, yang harus ditanamkan dalam pendidikan karakter anak sejak dini. Dan menjadi tugas keluarga, lembaga pendidikan, dan semua pihak untuk menanamkan pendidikan yang berkarakter sejak dini. Tentu saja karakternya tidak boleh keluar dari agama dan budaya yang ada.

Kenapa anak penting ditanamkan nilai agama dan budaya sejak dini? Karena propaganda radikalisme terus. Tidak hanya menyusup melalui dunia maya, tapi juga menyusup dalam keluarga dan lembaga pendidikan. Mungkin kita masih ingat perayaan hari kemerdekaan di bulan Agustus 2018 lalu. Anak-anak TK di Probolinggo, Jawa Timur, melakukan karnaval dengan berseragam menggunakan jubbah dan cadar berwarna hitam, serta membawa senjata mainan.

Mungkin kita juga ingat, puluhan anak asal Indonesia, yang dibawa ke Suriah oleh orang tuanya, lalu mendapatkan pelatihan militer dan tembak menembak oleh pasukan ISIS. Tentu kita juga masih ingat tentang ledakan beberapa gereja di Surabaya tahun kemarin. Mereka adalah anak-anak yang menjadi korban dari propaganda radikalisme orang tuanya. Anak merupakan pihak yang rentan terpapar radikalisme.

Di era milenial seperti sekarang ini, propaganda radikalisme telah menyusup ke media sosial, melalui kecanggihan teknologi. Karena itulah, orang tua harus bisa memberikan pendidikan karakter yang kuat sejak dini. Dan pendidikan karakter yang dimaksud adalah perpaduan nilai-nilai agama dan budaya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline