Kata hijrah ini akhir-akhir ini seringkali muncul di media sosial dan media mainstream. Seseorang yang ingin menekuni ilmu agama, seringkali disebut hijrah. Orang yang meninggalkan dunia kekerasan dan beralih ke dunia kebaikan, juga dikatakan sebagai hijrah.
Orang Indonesia yang tergabung dalam kelompok radikal dan teroris, juga menyebut dirinya hijrah, ketika memutuskan bergabung dengan anggota ISIS di Suriah, Iraq ataupun Filipina.
Di era Rasulullah SAW, istilah hijrah juga muncul ketika Nabi Muhammad dan rombongon meninggalkan Makkah menuju Madinah. Dalam konteks ketika itu, hijrah ini dimaksudkan untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak menghendeki kehadiran Rasulullah SAW.
Istilah hijrah bisa beraneka tafsir dan makna, tergantung apa konteksnya dan siapa yang mengartikannya. Hijrah bisa diartikan baik, tapi juga bisa diartikan tidak baik. Dalam konteks ini, saya ingin mengajak warganet, untuk hijrah dari perilaku sharing tanpa saring menjadi saring sebelum sharing, dari menebar pesan kebohongan dan kebencian beralih ke meninggalkan pesan damai.
Hijrah melawan hoax dan hate speech ini menjadi kebutuhan yang wajib dilakukan di era milenial ini. Karena jumlah penyebar hoax dan kebencian terus saja mengalami peningkatan. Padahal secara sengaja menyebarkan hoax dan kebencian bisa terancam pidana.
Beberapa tahun belakang ini, sudah banyak sekali para pihak yang ditangkap karena menyebarkan berita bohong dan kebencian. Namun penyebaran informasi bohong dan kebencian ini masih saja terjadi hingga saat ini. Bahkan menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, intensitas penyebaran hoax dan hate speech terus mengalami peningkatan.
Akibatnya banyak masyarakat yang tidak bisa mendapatkan informasi secara utuh. Banyak masyarakat yang menjadi korban provokasi, dan terjebak dalam politik adu domba pihak-pihak tertentu. Tidak sedikit pula dari masyarakat yang menjadi korban provokasi kelompok radikal. Mereka merasa paling benar sendiri, dan pihak lain yang berbeda pandangan dianggap salah, bahkan ada juga yang dianggap kafir.
Jika penyebaran hoax dan kebencian ini terus dibiarkan, tentu akan semakin banyak yang menjadi korban. Akan semakin banyak ketidakpastian yang beredar di media sosial. Untuk itulah harus ada yang menyudahinya dan memberikan penyadaran. Tentu ini tidak bisa dilepaskan pada pemerintah ataupun aparat keamanan.
Kita sebagai generasi penerus bangsa yang melek teknologi, juga mempunyai kontribusi untuk membuat interaksi di dunia maya berjalan dengan baik. Kita juga punya kewajiban untuk menjadikan media sosial, sebagai media pemersatu dan silaturahmi antar sesama, bukan media penyebaran kebencian dan saling caci maki.
Jika media sosial bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih baik, kenapa harus disalahgunakan untuk kepentingan negative? Jika kita bisa duduk saling berdampingan, kenapa harus saling bermusuhan? Bukankah hidup dalam keragaman itu menyenangkan? Ibarat taman yang dipenuhi aneka Bungan warna-warni, akan lebih indah dipandang mata dari pada taman yang hanya berisi satu tanaman.
Kita Indonesia. Indonesia adalah kita. Ayo jaga Indonesia agar masyarakatnya tidak selalu mencari kejelekan dan kesalahan orang lain. Ayo kita sadarkan agar kita semua mengedepankan kearifan lokal, yang tetap menjaga tutur kata dan perilaku.