Hidup dalam kondisi damai, pasti menjadi keinginan semua orang. Tidak ada satupun orang di bumi ini, yang ingin hidup dalam kondisi konflik. Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi merdeka. Sudah semestinya, kemerdekaan itu terjaga sampai manusia itu meninggal. Dan salah satu kemerdekaan yang dimaksud adalah merdeka dari teror, merdeka dari kebencian, dan merdeka dari segala pengaruh negatif. Kemerdekaan yang merupakan anugerah dari Tuhan ini, tentu harus selalu dijaga dan tidak boleh ada satupun manusia yang mengganggu kemerdekaan manusia lain.
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah yang begitu luas, dengan beraneka ragama suku dan budaya. Keanekaragaman latarbelakang itu tentu mempengaruhi bagaimana cara pandang seseorang kepada orang lain. Dan perbedaan cara pandang ini, tentu berpotensi bisa menjadi sebuah persoalan jika tidak ada toleransi dalam setiap diri manusia. Apalagi seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, memicu pula berkembangnya informasi yang menyesatkan dan ujaran kebencian di dunia maya. Di tahun politik ini, intensitas kemunculan ujaran kebencian ini begitu cepat. Kondisi ini juga dimanfaatkan kelompok intoleran, juga untuk menebarkan propaganda radikalisme.
Untuk penyebaran propaganda radikalisme dan kebencian, dilakukan dengan berbagai cara. Tidak hanya melalui dunia maya seperti media sosial, di kehidupan nyata pun, penyebaran bibit radikalisme tetap bisa dilakukan. Salah satunya disebarkan melalui ceramah di tempat ibadah. Hal ini diperkuat temuan Badan Intelijen Negara (BIN) beberapa waktu lalu, yang menyatakan adanya 41 masjid di lingkungan kantor pemerintahan yang terpapar bibit radikalisme. Dalam temuan tersebut, para penceramah di masjid tersebut seringkali menyebarkan bibit radikalisme dalam setiap ceramahnya. Temuan yang menuai pro dan kontra ini, harus disikapi secara arif dan bijaksana.
Terlepas dari pro dan kontra, kenyataannya paham radikalisme memang nyata ada di sekitar lingkungan kita. Tidak sedikit dari generasi muda Indonesia, menjadi korban paham radikalisme. Rata-rata pelaku terorisme dalam beberapa tahun terakhir ini, didominasi oleh anak-anak muda. Mereka merupakan korban dari propaganda dan pemahaman agama yang salah. Akibatnya, mereka menjadi komunitas yang eksklusive, tidak terbuka, dan merasa diri dan kelompoknya yang paling benar. Dan pihak-pihak berbeda pandangan, diposisikan sebagai pihak yang salah. Kalau pemahaman ini terus mendapat provokasi, dikhawatirkan akan semakin banyak generasi pemarah di negeri ini.
Pada titik inilah pentingnya posisi para penceramah. Para penceramah harus bisa memberikan kesejukan dalam setiap ceramahnya. Konten ceramah juga harus meluruskan yang salah, dan memberikan inspirasi bagi semua orang untuk terus memperbanyak kebaikan. Karena semua agama menganjurkan kepada semua orang untuk memperbanyak berbuat baik dalam kehidupannya. Karena berbuat baik antar sesama, bisa mewujudkan kondisi yang damai tanpa kebencian. Dan perilaku ini pula yang selalu dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Karena itulah, sudah semestinya tidak ada lagi tawar menawar untuk menebar kebaikan demi terciptanya perdamaian. Tidak sulit untuk mencari contoh tentang kisah perdamain di negeri ini. Ceritakanlah beraneka ragam kisah tentang perdamaian dari kita suci, dari perjalanan Nabi Muhammad SAW, dari perjalanan para sahabat, dari wali songo hingga para ulama yang memang menjadi panutan.
Banyak juga cerita-cerita rakyat dari berbagai suku dan daerah di Indonesia, yang mengedepankan toleransi. Banyak juga kampung-kampung yang bisa hidup berdampingan dalam keberagaman, yang perlu kita sebarluaskan. Karena sejatinya, sejak dulu masyarkat kita sudah berkomitmen mewujudkan perdamaian di bumi NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H