Kemarin, baru saja bangsa Indonesia memperingati hari kesaktian Pancasila. Membicarakan Pancasila di era milenial ini, mungkin menjadi hal yang membosankan. Apalagi yang berbicara adalah generasi milenial, yang notabene kurang tertarik dengan isu sejarah, dan nilai-nilai budaya bangsa. Generasi milenial tentu akan lebih senang jika membicarakan tentang teknologi, gaya hidup, makanan ataupun hal-hal yang sifatnya lebih ringan.
Sebenarnya, berbicara tentang Pancasila bukanlah hal yang berat dan membosankan. Karena nilai-nilai Pancasila merupakan nilai yang lahir dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Dan berbicara tentang Pancasila di tahun politik seperti sekarang ini, seperti relevan untuk didiskusikan.
Di tahun politik, banyak orang yang membawa nilai-nilai agama untuk menarik simpati publik. Pendekatan agama seringkali digunakan. Dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, sentimen agama begitu kuat sampai akhirnya berujung pada pengerahan massa secara besar-besaran. Dalam pilpres 2019 ini, sentimen agama sepertinya akan sulit digunakan karena semua paslon beragama muslim. Bahkan salah satu paslon merupakan tokoh agama.
Yang perlu dikhawatirkan adalah penyebaran ujaran kebencian, yang tidak melihat lagi apa agamanya. Sebenarnya, jika yang muncul adalah mengkritisi kebijakan masih relevan untuk didiskusikan. Justru hal itu sangat diperlukan, agar bisa menjadi pembelajaran bersama.
Namun bagaimana jika yang muncul adalah kebencian karena si A diisukan komunis, karena si A disukan antek asing, karena si A tidak lagi Islami atau yang lainnya. Ujaran kebencian di tahun politik ini, umumnya juga akan dibarengi dengan peningkatan penyebaran berita bohong alias hoax. Jika tingkat literasi masyarakat tidak di upgrade, akan semakin banyak masyarakat yang menjadi korban.
Jika kita mengklaim diri kita sebagai seorang Indonesia, yang mengakui Pancasila sebagai dasar negara, semestinya penyebaran kebencian demi kepentingan politik tidak akan terjadi. Sila pertama mengaskan bahwa setiap individu di Indonesia harus memeluk agama sesuai keyakinannya. Sementara dalam ajaran agama apapun, tidak dianjurkan bahkan tidak diperbolehkan saling membenci, ataupun saling menebar kebencian. Bahkan Rasulullah SAW pun tidak pernah memberikan contoh kepada umatnya, untuk saling membenci antar sesama.
Begitu juga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Adat istiadat dan budaya suku-suku yang ada di Indonesia, justru menganjurkan untuk saling mengenal dan saling tolong menolong. Karena itulah gotong royong sangat diyakini oleh seluruh masyarakat, meski di era modern seperti sekarang ini mulai memudar. Jika kita lihat di tahun politik ini, adakah gotong royong yang tulus untuk kepentingan bangsa? Yang terjadi justru gotong royong untuk saling menjatuhkan elektabilitas. Seharusnya, gotong royong yang dibutuhkan adalah gotong royong untuk membangun sistem demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam sila kedua, semangat yang diusung adalah memanusiakan manusia. Ini artinya, antar sesama manusia tidak boleh saling menyakiti. Juga tidak boleh saling membenci. Karena kedudukannya setara, tidak boleh ada upaya untuk saling menindas. Mari kita lihat kondisi yang terjadi saat ini. Yang kaya akan terus menggelontorkan dananya agar paslon yang diusung bisa menang dalam perhelatan politik. Dampak dari politik uang ini, akhirnya politik menghalalkan segala cara akan terjadi.
Akibatnya, potensi pertikaian dan konflik dalam setiap perhelatan politik bisa saja sewaktu-waktu terjadi. Kalau hal ini terjadi, maka persatuan dan kesatuan yang selama ini berupaya untuk dipertahankan, bisa hancur hanya karena urusan politik. Untuk itulah, mari kita tetap mengedepankan nilai-nilai Pancasila dalam setiap perhelatan politik. Ingant, misi di tahun politik ini adalah mencari pemimpin yang jujur, berintegritas, toleran, dan mampu menjadi pemimpin untuk semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H