Kita tahu bersama bahwa terorisme di Indoensia adalah masalah yang sangat kompleks karena menyimpan kepentingan ekonomi, agama dan politik. Bisa dianggap sangat berbahaya karena terorisme berhadapan langsung dengan negara. Negara dianggap oleh beberapa kalangan penganut faham keras sebagai musuh agama atau menghalang-halangi tujuan agama.
Perang melawan terorisme sebenarnya adalah perang melawan kebodohan dan kemiskinan. Bodoh karena kebanyakan dari mereka memakai kacamata kuda dalam melihat sesuatu persoalan. Miskin di sini adalah dalam konteks pengetahuan. Orang yang berwawasan sempit.
Kita tentu ingat pada beberapa tahun lalu, belasan orang yang dipulangkan dari Suriah dan terdapat juga anak-anak. Mereka adalah warga negara Indonesia yang tergiur oleh ideology ISIS yang ingin menegakkan sebuah negara yang berhaluan Islam. Beberapa diantara mereka juga tergiur karena iming-iming imbalan ekonomi yang akan didapatkan jika mereka bergabung dengan ISIS.
Mungkin, orang awam tidak bisa memahami bagaimana kalangan penganut aliran keras ada di masyarakat. Orang yang berwawasan sempit pada satu agama biasanya memisahkan diri dari masyarakat. Mereka merasa berbeda dengan orang-orang lain, meski satu agama sekalipun. Mereka biasanya mendoktrin anggota keluarganya dengan faham radikal yang mereka anut.
Cara mereka memisahkan diri yaitu tidak berkumpul lagi dengan teman-temannya semula. Mereka memilih teman dan hanya berkumpul dengan orang-orang atau teman yang satu aliran keyakinan dengan mereka.
Beberapa dekade lalu, di sebuah kota di Inggris membuka dirinya untuk memberi tempat bagi para imigran Asia yang berasal dari negara seperti Afganistan dan Pakistan. Di empty land yang diberikan oleh pemerintah Inggris itulah mereka hidup. Selama beberapa belas tahun mereka hidup dan berkembang dengan cara mengisolasir diri. Mereka tidak ,mau berhubungan dengan masyarakat sekelilingnya. Kalaupun ada amat minim sekali. Mereka juga tidak memberi ruang bagi anak mereka untuk bersekolah di sekolah sekitar. Mereka mendirikan sekolah sendiri dengan kurikulum yang mereka susun sendiri.
Beberapa waktu berlalu dan ada hal yang tidak terduga terjadi, yaitu salah satu dari pemuda yang berasal dari komunitas imigran itu menjadi pelaku pemboman di salah satu kota di Inggris, yang tujuannya melakukan terror. Ternyata komunitas yang mengisolasi diri itu kerap mengajarkan faham radikalisme kepada anak-anak mereka.
Seketika itu juga pemerintah Inggris mengintervensi komunitas itu. Sekolah dan beberapa pusat kegiatan yang mereka dirikan dirombak dan harus mengikuti beberapa ketentuan dari pemerintah Inggris. Inggris lantas mengawasi dengan ketat pertumbuhan komunitas ini.
Radikalisme dan terorisme di Indoensia mirip seperti itu tetapi lebih sulit dideteksi karena tidak di wilayah khusus tapi berada di tengah-tengah masyarakat.
Penting bagi masyarakat untuk segera menengarai indicator redikalisme dan terorisme yang ada dan tumbuh bersama mereka. Isolasi dan merasa berbeda dalam pandangan agama adalah salah satu ciri orang yang mungkin terindikasi radikalisme. Karena itu kita harus sering melakukan ronda dan tetap waspada untuk mendeteksi dini kemungkinan radikalisme dan terorisme ini tumbuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H