Lihat ke Halaman Asli

Dita Utami

ibu rumah tangga

Kita Harus Bisa Hentikan Isu SARA di Media Sosial

Diperbarui: 23 Januari 2018   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reformasi di tahun 1999 memberi kesempatan tak terbatas bagi banyak orang untuk berpendapat, mengembangkan berbagai hal setelah direpresi selama 32 tahun. Mula-mula Reformasi berjalan di relnya, tetapi lama kelamaan dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk mempengaruhi masyarakat sesuai dengan kepentingan mereka atau kelompok tertentu. 

Kita ingat seorang pemimpin organisasi masyarakat (ormas) besar menggugat pemerintah atas bahaya kebangkitan komunis dengan mempersoalkan palu arit di uang kertas yang diterbitkan pemerintah. Isu itu kemudian dimainkan oleh demagog kecil lain dan menggelinding seperti bola salju dengan menyoal 10 juta pekerja China di Indonesia sampai mengaitkan Presiden Indonesia dengan PKI. Mereka juga menggunakan jaringan media massa milik simpatisannya.

Kontestasi politik maraton Indonesia yang diawali dari  Pilpres 2014, kemudian Pilkada Serentak 2016  dan 2017 (Jakarta), Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019 membuat  para penghasut ini akan lebih kuat lagi.  Event politik ini adalah lahan subur bagi mereka untuk menjatuhkan lawan. Mereka mendominasi sistem politik kita terkini. Pilkada Jakarta adalah contoh paling tragis dari besarnya pengaruh para penghasut ulung, tidak saja di Jakarta namun merembet di daerah lain.  Tidak hanya secara langsung tapi juga lewat media massa dan media sosial.

Para penghasut yang berbu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) riuh dan mempengaruhi orang dewasa sampai anak-anak di seluruh negeri. Membius jutaan massa dengan kebohongan, intrik dan fitnah. Mengeksploitasi, memanipulasi ketakutan dan prasangka terhadap pihak lain yang sebenarnya tidak perlu.

Akhirnya, masyarakat mudah sekali mengeluarkan ujaran kebencian dan segera didukung oleh jutaan orang melalui media sosial tanpa menelaah kebenarannya lagi. Ironisnya, beberapa tokoh Indonesia turut campur dalam aksi hasutan ini dan ketika kemenangan di tangan, mereka bersikap seolah semuanya normal dan baik-baik saja.

Jargon-jargon persatuan Indonesia seperti 'NKRI harga mati', 'Satu untuk Indonesia', tidak kuasa melawannya. Sebaliknya, manipulasi berdasarkan SARA dilakukan terus menerus oleh mereka sehingga menimbulkan perpecahan di masyarakat. Luka, ketersinggungan kelompok dan pelibatan generasi muda adalah  dampak berat bagi persatuan Indonesia di masa datang.

Alangkah baiknya jika kita bisa belajar dari nasihat dari mendiang GusDur yang banyak bicara tentang Pluralisme. Gus dur yang waktu itu berpengalaman dan besar ternyata masih merasa perlu untuk tetap waspada dengan persoalan yang mungkin mengancam persatuan Indonesia.

Gus Dur selalu mengingatkan kita untuk bersatu,  menyamakan visi agar tidak mengizinkan pihak-pihak memecah belah mereka. Gus Dur dan beberapa tokoh pluralis mengingatkan karena ini akan berpengaruh bagi generasi mendatang.

Karena itu di Indonesia, segala luka-luka dan perpecahan bangsa harus segera perbaiki. Himbauan dari beberapa tokoh pluralis Indonesia yang terus menerus disuarakan melalui media massa dan media sosial harus kita perhatikan agar masyarakat selalu ingat bahwa Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, belasan ribu pulau, ribuan suku bangsa, dan ratusan etnis dan bahasa daerah.

Bahwa kebinekaan adalah takdir Indonesia. Kita harus tetap bersatu dan berdiri teguh mewujudkan cita-cita bangsa.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline