Lihat ke Halaman Asli

Dita Kharisma Febriani

Mahasiswa IAIN Jember Program Studi Pendidikan Agama Islam

Tanpa Guru Kita Takkan Jadi Apa-apa

Diperbarui: 10 April 2020   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita pada dasarnya tau bahwa guru itu adalah orang yang mendidik,  membimbing, memotivasi, memberikan ilmu,  serta menjadi suri tauladan yang baik bagi peserta didiknya.  Seorang guru pasti menginginkan yang terbaik bagi peserta didiknya dan menginginkan peserta didiknya sukses menggapai masa depan yang terang.
Ada suatu cerita dimana ini pengalaman saya ketika sekolah di bangku SD yang nantinya bisa diambil suatu pelajaran dari apa yang pernah saya alami.  
Bahwasannya memang benar,  tanpa guru kita takkan jadi apa-apa.  Ketika itu saya seorang siswa pindahan dari sekolah dekat tempat tinggal saya yang sekolahnya relatif berkualitas rendah. Lalu ketika saya naik ke kelas 4 SD,  saya dipindahkan ke sekolah yang lebih maju oleh ayah saya, yang siswanya lebih bagus jika dibandingkan dengan sekolah sebelumnya. Baik dalam hal intelektual maupun sikapnya.  Saya saat itu merasa bahwa saya siswa yang paling rendah kemampuannya dibanding teman-teman saya yang baru. Saya merasa kecil hati, sementara saya ingin sekali menjadi siswa yang berprestasi saat itu. Akhirnya saya memotivasi diri saya sendiri,  saya terus belajar waktu itu,  meskipun saya siswa baru tapi saya tidak mau kalah.  Namun,  yang saya masih tidak berani adalah menjawab pertanyaan guru saya ketika proses pembelajaran yang padahal saya bisa menjawabnya waktu itu,  sebenarnya guru saya tau.  Tetapi saya takut memberikan jawaban yang salah. Saya tidak punya nyali untuk mengacungkan tangan. Karena memang siswa di kelas saya pintar-pintar. Kemudian, pada suatu ketika untuk kejadian yang kedua kalinya, karena keteledoran saya, saya telat mengerjakan tugas Matematika, sementara teman-teman saya sudah selesai. Lalu,  dengan hati berdebar-debar saya menunjukkan tugas yang belum selesai saya kerjakan karena waktu yang telah habis. Dengan sigap guru saya mencoret buku saya dan memberi saya nilai 40, sementara teman-teman saya mendapat nilai 100. Beliau juga dengan tegasnya mengatakan bahwa saya seorang "Pengecut" dengan mata melotot menoleh saya.  Betapa takutnya saya, seorang siswa kelas 4 SD diperlakukan seperti itu.  Beliau bilang kepada saya. "Jadi anak itu yang tangkas,  jangan teledor,  dan jika kamu bisa,  kamu langsung jawab, jangan pernah takut salah, kalau kamu terus seperti ini, kamu tidak akan bisa maju". Semua itu masih benar-benar tertancap di pikiran saya. Tetapi itu menjadi motivasi saya kedepannya. Saya sengaja tidak menceritakan ini kepada orang tua saya,  karena pasti yang akan dimarahi tetap saya dan bukan guru saya. Lalu ketika hasil raport akhir kelas 4 dibagikan,  saya mendapat peringkat ke-6. Saya merasa tidak puas, seketika itu saya teringat perkataan guru saya, dan naik kelas 5 saya berusaha untuk memperbaiki nilai saya. Pada akhirnya peringkat saya naik ke peringkat ke-2 dan betapa terkejutnya saya ketika kelas 6 SD, saya menjadi siswa dengan nilai Ujian Nasional terbesar pada waktu itu. Sungguh apa yang telah diberikan guru saya itu sangat berharga sekali,  walaupun itu benar-benar menakutkan dan menyakitkan bagi saya. Tetapi dengan dorongan itu saya bisa menjadi lebih baik kedepannya,  dan apa yang dikatakan guru saya itu selalu saya pegang ketika saya hendak berbicara di depan banyak orang supaya saya tidak canggung dan percaya diri.

Nah dari cerita itu,  pasti tentunya bagi yang sudah membaca artikel saya,  bisa mengambil pelajaran dari apa yang pernah saya alami.  Lalu ketika kita melihat fakta yang sekarang,  mengapa jika siswa dimarahi atau bahkan dipukul dalam artian itu bentuk didikan untuk menjadikan siswa tersebut  menjadi lebih baik lagi kedepannya malah orang tuanya yang marah kepada gurunya? Mengapa orang tua tidak berpikir bahwasannya gurunya bertindak seperti itu karena memang anaknya yang melakukan kesalahan.  Mengapa orang tua tidak berusaha menenangkan dan menasihati anaknya untuk tidak melakukan kesalahan lagi.  Kecuali semisal gurunya yang salah dalam hal mendidik.
Mari kita sama-sama renungkan. Guru bertindak keras,  bukan berarti bermaksud buruk,  bukan berarti membuat peserta didiknya takut.  Guru itu memotivasi kita,  dan cara yang mereka lakukan pun berbeda-beda sesuai karakteristik peserta didiknya.  Guru tidak akan semena-mena memperlakukan kasar kepada peserta didiknya.  Apa yang mereka katakan,  apa yang mereka lakukan, semuanya adalah untuk kebaikan peserta didiknya. Perlu diingat, tanpa bimbingan seorang guru,  ilmu yang kita dapat tidak akan bermanfaat dan banyak orang-orang yang sukses sekarang itu karena begitu tawadhu' nya kepada gurunya.  Karena ketika kita menuntut ilmu,  kita dididik , kita dibenturkan, itu tujuannya adalah membentuk kita menjadi pribadi-pribadi atau generasi yang baik di masa depan. Oleh sebab itu,  benar sekali tanpa guru kita takkan jadi apa-apa.

Sekian Terimakasih
Semoga Bermanfaat :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline