Lihat ke Halaman Asli

Fantastis! Bandar Narkoba Pun Dibela Presiden

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13392451152006319794

“Antara Komedi dan tragedi itu nyaris beda tipis, tak urungnya juga antara hubungan diplomatik dan alasan kemanusiaan”

Masihkah ada secercah harapan bagi kita agar generasi bangsa tercinta ini terbebas dari narkoba? Pasalnya Indonesia adalah sasaran empuk penyelundupan narkoba yang tiada kapok-kapoknya para turis asing sang bandar narkoba itu berkeluyuran & bertandang ke negeri ini dengan berbagai trik jitu nan cerdik. Legalah rasanya ketika satu saja sang “turis” yang tak diharapkan kedatangannya itu tertangkap oleh petugas bea cukai, itu artinya berpuluh ribu bahkan berjuta-juta warga negara kita terselamatkan dari bahaya. Beberapa waktu yang lalu pemerintah sempat menunjukkan kesungguhannya dalam memeranginya sindikat kejahatan internasional yang begitu lihai dan rapi dalam beroperasi itu.

Dalam istilah manajemen keuangan dikenal istilah high risk, high return. Demikian pula perdagangan barang haram ini,  tiada jera, belum usay Corby, sang ratu mariyuana, kini Lindsay, si ratu kokain yang fantastis dengan 4.7 kg kokainnya yang seolah bersaing dengan Corby, lalu tinggalah masalah waktu kita saksikan ratu-ratu dan raja-raja yang berikutnya. Padahal sudah jelas bahwa tindak pidana narkotika merupakan salah satu extaordinary crime (kejahatan luar biasa) yang sanksi hukumannya tidak tanggung-tanggung, yakni hukuman mati. Keseriusan pemerintah Indonesia pun ditunjukkan sejak tahun 1997 yakni telah meratifikasi United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tahun 1988 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.Manusiawi memang jika para pelaku sindikat narkoba ini beraksi nekat apalagi motivasi mereka kalo bukan keuntungan yang tinggi, atau jangan-jangankah karena penerapan hukum di negara kita yang masih lebih ringan dibanding Singapura & Malaysia membuat mereka masih merasa kurang jera? Efek hukum yang diberikan kepada pengedar narkoba, tentu saja akan membuat para pelaku berpikir ulang untuk melakukan tindak kejahatan di negara tersebut.

Menilik paparan penulis di atas, sudah banyak pemberitaan media atas grasi yang diberikan presiden RI kepada Schapelle Leigh Corby. Pasalnya hal tersebut menuai banyak kontroversi di kalangan politisi, akademisi, hingga masyarakat. Sudah pasti ada yang jengkel, ada pula yang santai-santai saja. Hal itu teramatlah wajar. Schapelle sendiri yang akrab disapa Corby adalah seorang warga negara Australia yang tertangkap tangan hendak menyelendupkan ganja sebanyak 4,2 kg di Bandara Ngurah Rai, Bali pada tanggalpada 8 oktober 2004. Setelah ia mendapat grasi dari presiden, kasusnyakembali menghebohkan masyarakat Indonesia.

Permohonan yang disertai linangan air mata disampaikan gadis warga negara Australia itu di hadapan mejelis hakim pada pembelaan 28 April 2005 lalu. Corby minta dirinya dibebaskan dari segala dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Ida Bagus Wiswantanu.Pada 27 Mei 2005 Corby divonis Hakim PN Denpasar Bali Asep Wirawan, penjara 20 tahun plus denda Rp 100 juta.Pada 12 Oktober 2005 lewat pengadilan banding, hukuman Corby dikurangi menjadi 15 tahun penjara. Namun pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi Mahkamah Agung hukuman Corby dikembalikan menjadi 20 tahun penjara dengan alasan bahwa narkoba yang diselundupkan oleh Corby itu termasuk kualitas nomor 1, atau tergolong berbahaya.Kemudian pada 15 Mei 2012, Presiden SBY melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 22/G tahun 2012 mengumumkan pemberian grasi kepada Corby. Setelah mendapat grasi lima tahun dari Presiden SBY, Corby paling lama akan keluar pada 20 September 2012.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika juncto Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika diatur pengedar narkoba diberikan hukuman seberat-beratnya bahkan sampai dengan hukuman mati, akan tetapi sebaliknya Presiden melalui grasi telah meringankan hukuman terpidana narkoba.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 14 menyebutkan bahwa pemberian grasi merupakan hak prerogatif presiden. Dalam pasal tersebut tercantum ‘Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Akan tetapi, pemberian grasi itu harus mempertimbangkan kepentingan umum, dan dalam kasus Corby dapatkah saudara menyebutkan relevansinyaterhadap kepentingan umum? Sebab penulis sendiri juga sama-sama sedang belajar & masih dangkal ilmunya. Dari beberapa sumber media menyebutkan bahwa pemberian grasi ini dikaitkan dengan sejumlah nelayan kita yang ditahan di Australia, ada juga yang menyebutkan alasan kemanusiaanlah yang menjadi pertimbangannya.

Dalam hal ini, penulis merasa belum cukup pantas untuk berpendapat panjang lebar. Hanya saja harapan penulis bahwa jargon “no drugs, no alcohol” yang sempat bergaung di kalangan pemuda tanah air benar-benar bisa menjadi sebuah kenyataan yang dinanti-nanti. Bolehlah kita berpendapat, namun apapun itu alasan presiden SBY, tentulah ada hal yang mendasarinya yang wajib kita hargai & kita patuhi sebagai warga negara yang taat & tertib dalam berdemokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline