Lihat ke Halaman Asli

Dita Anis Zafani

Ekonom, Aktivis lingkungan, dan Penggerak GUSDURian

Green Leader; Sosok Pemimpin Masa Depan dengan Pikiran dan Hati yang "Green"

Diperbarui: 16 Mei 2023   15:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Green Leadership Indonesia

"Earth provides enough to satisfy everybody's needs, but not everybody's greed---Mahatma Gandhi."

           Isu ekologi semakin santer dibicarakan dalam ruang-ruang publik dan berbagai platform. Dalam konteksnya, semakin banyak orang paham bahwa kerusakan ekologis berupa krisis iklim, kerusakan alam dan keanekaragaman hayati, pencemaran air dan udara akibat pembuangan limbah dan uap, timbunan sampah plastik dan seterusnya benar-benar terjadi di Indonesia.        

           Global Climate Report 2022 melaporkan tahun 2022 tercatat sebagai tahun terpanas keenam. Suhu rata-rata global 1,15 (1,02-1,28)oC di atas rata-rata tahun 1850-1900. Sepanjang 2015-2022 merupakan delapan tahun terpanas dalam catatan instrumental sejak tahun 1850 yang mengakibatkan perubahan iklim ekstrim.

            Sebagai negara tropis, memahami iklim musim Indonesia sangatlah mudah. April-September tercatat sebagai musim kemarau, sedangkan Oktober-Maret musim hujan. Namun kini kesimbangan tersebut sudah rusak. Para petani mengalami gagal panen akibat cuaca yang tidak menentu. Akibatnya kebutuhan masyarakat dan ketersediaan bahan tidak seimbang sehingga harga-harga bahan pokok melambung dan akhirnya memperlebar kesenjangan ekonomi.

            Pemenuhan ekonomi berupa industrialisasi dan pembangunan di sisi lain juga mengancam masa depan planet bumi. Gedung-gedung dibangun, pohon-pohon di tebang, dan sumber mineral dikeruk habis. Padahal, bumi dan alam semesta mempunyai prinsip-prinsip kehidupan berupa wisdom of nature dalam ruang lingkup ekosistem yang harus dipatuhi (Capra, 1996).

            Atas nama peningkatan nominal Produk Domestik Bruto (PDB), gedung-gedung di perkotaan tumbuh menjulang dan padat sebagaimana mestinya pohon-pohon tumbuh subur di tengah hutan. Padahal bumi adalah ekosistem dimana semua makhluk hidup dan manusia melangsungkan kehidupan dan berkelanjutan, oleh karenanya konsep biodiversitas sangat urgen untuk menjaga keberagaman ekologis serta keterkaitan antara satu dengan yang lain.

            Sejak tahun 2010 beberapa kebijakan telah dibuat terkait krisis iklim di Indonesia berupa komitmen pembangunan berkelanjutan, dimulai dengan tahun 2010 sebagai base-year emisi gas rumah kaca, kemudian tahun 2011 dikeluarkan peraturan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), tahun 2014 Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API), tahun 2016 Ratifikasi Persetujuan Paris (UU. No. 16/2016) dan Penyampaian National Determined Contribution (NDC), tahun 2019 peluncuran Low Carbon Development Indonesia (LCDI) dan pada tahun 2021 diterbitkan Long-term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR).

            Dengan semua kebijakan tersebut, apakah sudah bisa menjaga keberlangsungan ekologis Indonesia? memperbaiki krisis iklim misal?, Belum. Justru Global Climate Risk Index 2021 melaporkan bahwa Indonesia menduduki posisi ke-3 tingkat fatalitas risiko iklim.

            Apakah lambannya penangan krisis iklim di Indonesia karena faktor pendanaan? bahwa kita membutuhkan dana mencapai US$247,2 miliar atau sekitar Rp3,461 triliun untuk penurunan emisi pada tahun 2030 seperti yang dilaporkan oleh Second Biennial Update tahun 2018? lagi-lagi bukan.

            Mark Z. Jacobson, seorang peneliti dari Stanford mengatakan kendala utama dalam transisi energi baru terbarukan (sebagai salah satu upaya penanganan krisis iklim) bukanlah biaya, melainkan kemauan sosial dan politik yang kuat, dan disinilah pentingnya peran seorang 'green leaders' mestinya berada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline