Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau
Jauhilah perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar, di perut bumi dan di atas bumi
Bersabarlah menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir
Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impian kan tercapai
Jangan cari kemudahan di kampung kelahiranmu
Sungguh kemuliaan itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kaulakukan,
Karena debat kusir adalah pangkal keburukan.
Terjemahan bebas syair Sayyid Ahmad Hasyimi yang saya kutip dari Novel Ranah 3 Warna karya Bang Ahmad Fuadi tersebut selalu membangkitkan ingatanku pada seorang laki-laki tua yang kini telah menghadapNya, yaitu BAPAKKU.
Masih lekat dalam ingatanku,
Shalawat Nariyah merdu yang beliau lantunkan saat aku masih dalam gendongannya,
Menikmati semilir angin pagi di pekarangan belakang rumah kami yang menghadap ke sawah membentang,
Mendengar kicauan burung gereja yang berloncatan dari dahan ke dahan,
Masih kusimpan dengan baik dan rapi semua cerita tentangnya,
Tentang serunya menyiram tanaman jeruk dan mentimun di sebuah ladang di ujung desa,
Menyantap bersama rebusan jagung yang baru saja kami bawa pulang,
Menikmati semaraknya sore saat panen padi tiba,
dan kubantu mencatat hasil timbangannya di sebuah buku agenda bekas miliknya,
Juga tentang malam-malam yang kami lalui,
Dengan uluran payung tua yang beliau susulkan ke surau kecilku di seberang sungai,
Saat musim hujan mulai datang, dan langit gemar menumpahkan airnya,
Ketika memasuki usia remaja beliau jatuh sakit berkepanjangan,
Aku memang seperti terjaga dari mimpi-mimpi indah,
Dan segera kutemukan kesadaranku, bahwa inilah kefanaan dunia yang ditunjukkanNya,
Aku harus siap, aku harus kuat, dan aku harus berdiri tegak.
Berulang-ulang kata-kata itu kulesakkan ke dalam hati.
Bukankah beliau telah mengajarkan banyak hal di masa kecilku?
Bukankah beliau telah melimpahkan segala kasih dan sayang yang tak terbilang selama ini?
Maka jika tiba saatnya Allah merenggut kegagahan raganya,
Melemahkan segala tulang belulang yang menopang tubuhnya,
Memberikan cobaan kerentaan di sisa hidupnya,
Itu bukan karena berkurang kasih sayang Sang Pencipta pada makhlukNya,
Pastilah ada rencana lebih besar yang sedang Dia siapkan untuk kami semua,
Demikian berulang kali kuyakinkan diri sendiri atas apa yang terjadi.
Ya, aku harus siap melakukan banyak hal mulai hari itu,
Mencurahkan segala perhatian dan waktuku untuknya,
Dan jika perlu, menggantikan mengemudikan kapal kami,
Di saat Ibuku terlihat mulai lelah mendayungnya sendirian,
Mengambil berbagai keputusan penting yang harus dilakukan hingga tahun-tahun berikutnya.
”Pergilah Nak... Bapak akan baik-baik saja dengan Ibumu. Kau harus meneruskan belajar di kota. Bapak telah memberi bekal yang cukup untuk kakak-kakakmu. Sekarang mereka yang akan mengurusmu. Di sana, merekalah penggantiku. Jangan lupa, peliharalah shalatmu, ibadahmu. Bacalah Al-Quran setiap hari meski hanya satu ayat saja”. Kira-kira demikianlah terjemahan kalimat pendek Bapak dalam bahasa Jawa yang mengantarkan kepergianku selulus SMA ke kota ini.
Keputusan besar yang harus kuambil. Sesuatu yang meski telah direncanakan, tetapi terasa terlalu cepat sampai pada waktunya. Amat berat kuseret langkah kakiku. Menjalani sebuah kepergian terjauh hari itu.
Dan di kota ini, aku menyempatkan pulang hampir sebulan sekali.
Angka-angka merah dalam kalender adalah hiburan paling kutunggu.
Kurelakan uang jajan yang kudapat untuk membeli tiket bus langganan ”Sumber Alam”
Menemui beliau, orang tuaku, yang adalah dua sosok terpenting dalam hidupku,..
Membotaki kepala Bapakku seperti kesukaannya,
Atau hanya sekedar memastikan bahwa mereka berdua dalam keadaan baik-baik saja.
Kubawakan selalu oleh-oleh segudang cerita harianku,
Menularkan segenggam energi mewarnai hari,
Dan kulihat wajah tirusnya selalu semarak bahagia menyimaknya..
Lima tahun setelah kepindahanku ke kota ini,
Hari yang paling kutakutkan itu pun tiba,
Tanggal 9 September 1995, rampung sudah waktu yang diberikanNya
Masih lekat dalam ingatan, ketika selang-selang oksigen memenuhi wajahnya yang terlihat lebih putih dari biasanya,
Tatapan mata teduh untuk terakhir kalinya seakan menitipkan pesan,
Agar aku dapat terus tegar berjalan,
Menjaga diri sendiri di mana pun aku berada,
Menjadi anak mandiri seperti harapannya,
Menjaga Ibuku yang pun telah semakin menua,
Sebuah kalimat ”La ilaha Illallah” kubisikkan di telinganya yang kian dingin terasa,
Bapakku mengikutinya dengan bibir gemetar yang semakin pucatnya,
Tak sempat kuperhatikan garis di layar monitor di ruangan itu,
Karena aku terlalu sibuk menyiapkan perjalanan panjangnya.
Bahkan tak kusadari ketika dokter dan perawat telah datang mengerumuni,
Kurasakan pegangan tangannya terlepas perlahan,
Dan jemari yang dulu kokoh telah menjadi dingin dan membeku...
Sejenak aku mengerti, bahwa malaikat maut baru saja berkemas dari ruangan itu.