Salah satu persamaan hobby kami adalah membaca. Bisa jadi, saya tertulari kegemaran suami dalam hal ini. Dan hal itu rupanya menurun atau menular pada putri kami yang kini tahu-tahu telah menginjak 9 tahun usianya. Hari begitu cepat berlalu sepertinya...:) Sejak kemampuan membaca ia peroleh di usianya yang 4 tahun, kami memang sering menyuguhinya berbagai buku bacaan, dan menjadi salah satu oleh-oleh saat kami pulang dari bepergian. Buku-buku sederhana tentunya. Di mulai dari aneka kisah fabel seputar ”Tuan-tuan Gajah,...tuan harimau, Piglet, Pooh,dst” dan berbagai dongeng anak sebagai penyampai pesan moral bermuatan edukasi. Jika di usia 1 bulan hingga 4 tahun setiap hari saya membacakan cerita pengantar tidur, kini seringkali kondisinya berbalik. Semenjak ia bisa membaca sendiri, kedua orang tuanya ganti berperan sebagai pendengar. Mendengar ia membaca, atau menceritakan kembali atas apa yang ia peroleh dari bukunya dengan berbagai ekspresi wajah polosnya akan selalu membuat semarak suasana. Ya, membaca... ternyata dapat menghadirkan rasa bahagia. Kegemaran kami bertiga tersebut menjadi terasa sangat efektif mengisi ruang-ruang kosong dalam aneka kesempatan. Maka, ketika buku Habibie & Ainun kami beli di akhir tahun 2010, ia pun menjadi salah satu teman perjalanan ke Lampung untuk sebuah acara keluarga yang kemudian kami sulap menjadi bak ‘liburan’ dadakan. Keputusan untuk ’extend’ semalam ketika rombongan keluarga telah kembali ke Jakarta kami ambil dengan berbagai pertimbangan. Antara lain adalah agar ada sedikit waktu untuk sejenak mengelilingi Kalianda, sebuah kota kecil di pulau Sumatera. Hari telah larut ketika kantuk mulai menyerang saya dan putri kami. Namun suami yang lebih ‘betah melek’ masih saja tekun menyimak “Habibie & Ainun” di tangannya. Saya bahkan baru membaca beberapa lembar saja karena memang buku tersebut baru kami beli pekan sebelumnya. Sebagai ibu-ibu, tentunya saya juga lebih banyak berbagi waktu dengan putri kami, sehingga otomatis hampir selalu ketinggalan dalam hal melahap sajian yang kami maknai sebagai vitamin jiwa tersebut. ”Bacanya sampai nggak tidur semaleman?” Tanya saya sambil melipat sajadah selepas Subuh esok harinya. “Ya tidur...Sebentar sih.... Ini bagus banget soalnya Bu...Betapa hebatnya seorang Habibie...Betapa orang lain begitu menghargai beliau, bahkan mungkin lebih dari kita, bangsanya sendiri...”. Kudengar kalimatnya nyaris tercekat di tenggorokan menahan haru. Air mata bening mengembang di kedua pelupuk matanya. Sejenak keheningan terjadi di antara kami. Tatapan mata saja cukup menjadi komunikasi yang sempurna di antara kami, demi menyimak kisah pasangan hidup yang paling mengharukan yang pernah saya baca di dunia nyata ini. Kami seperti sama-sama sepakat dengan teori yang disampaikan Pak Habibie. Bahwa telinga yang merupakan panca indera kita dapat menangkap suara yang merambat dengan kecepatan 1.000km per jam. Dan mata menangkap informasi dengan kecepatan cahaya 1.080.000.000 km per jam. Dalam hitungan waktu yang sama, kecepatan informasi melalui mata lebih cepat dibanding melalui telinga. Selanjutnya kami mulai terlibat dalam diskusi bab demi bab buku yang sangat menyentuh hati itu. Sementara putri kami meminta ijin melanjutkan tidurnya yang terpotong shalat Subuh yang dijalankan dengan menahan segenap kantuknya. Berbagai kisah perjalanan itu tentu akan lebih bernyawa ketika membaca langsung dari penulisnya. Namun di edisi ini, saya ingin sedikit mengenang berjuta kesan saat membaca Habibie dan Ainun. Mereka adalah guru hidup dan teladan setiap pasangan di jaman ini. Buku ini lebih mirip biografi yang berisi cerita liku-liku perjuangan hidup, karier dan kisah cinta seorang profesor yang kiprah dan namanya bagitu mengharumkan negeri ini. Sosok Habibie begitu tersohor hingga ke dunia Internasional. Dan hingga ke penjuru tanah air, namanya begitu melegendanya. Hingga anak-anak akan berbangga ketika seseorang bertanya kepadanya “Apa cita-citamu jika besar nanti, Nak?” Seringkali jawaban mantap keluar dari bibir mungil mereka “Aku mau jadi insiyur seperti Pak Habibie”. Ya, Prof. Dr. BJ Habibie adalah sosok yang dikagumi, disegani dan dengan membaca kisah hidupnya, kami semakin jatuh hati. Ketika itu, Pak Habibie dan Bu Ainun yang mempunyai kesibukan ekstra tinggi dalam mengisi hari-hari pensiunnya ingin sejenak melepas lelah dengan berlayar mengarungi Samudra. Persamaan hobby di antara mereka adalah seputar budaya, seni, dan menikmati pemandangan alam. Maka diputuskanlah untuk pergi berlayar dengan kapal The Queen Victoria dari Singapura menuju Southampton, yang rencananya akan dilakukan tanggal 24 Maret 2010 pukul 18.00 waktu Singapura. Sabtu pagi tanggal 20 Maret 2010 itu, mereka masih berada di Jakarta setelah terlebih dahulu menyelesaikan berbagai aktifitas memimpin berbagai organisasi dan kegiatan sosial. Pak Habibie baru saja lepas dari kesibukannya menyiapkan makalah mengenai Filsafat Teknologi di Universitas Indonesia terkait anugerah Doctor Honoris Causa di bidang tersebut yang diterimanya di 30 Januari 2010 lalu. Bu Ainun tiba-tiba merasa sakit, perutnya mules dan terus mau muntah. Bu Ainun meminta Pak Habibie untuk meminta maaf pada Mommy dan Rubijanto, staf sekretariat mereka bahwa keadaan Bu Ainun tidak memungkinkan untuk berangkat ke resepsi pernikahan putri mereka jam 11.00 pagi. Pak Habibie berangkat sendiri ke upacara pernikahan dengan segala perasaan prihatin dan bingung. Setelah acara kondangan itulah beliau menemui Ibu Prof. Dr. Nila Moeloek dan menyampaikan keprihatinan atas istrinya. Inilah kisah hingga hari-hari berikutnya. Ibu Ainun dibawa ke RS Abdi Waluyo, dan kemudian dipindahkan ke RS MMC di dekat kediaman mereka di Kuningan. Karena saat itu pemeriksaan MRI tidak ada di RS MMC, Pak Habibie memutuskan untuk kembali memindahkan Bu Ainun di RS Abdi Waluyo kembali. Sewaktu Bu Ainun sedang di dalam tabung MRI, terlihat gambar paru-paru layar, yang sebagian kanan berwarna putih, dan sebagian kiri sepertiga bewarna putih. ”Mengapa begini dokter?apa alatnya rusak?” tanya Pak Habibie. ”Yang putih berarti ada cairan Prof” jawab Dr.Pulunggono, dokter yang menangani sang istri. Pak Habibie mengejar ”Mengapa warna putihnya ada yang tidak jelas? Ada yang abu-abu gelap dan putih. Ini artinya apa? Mengapa begini”. Dr. Pulunggono menjawab dengan sangat hati-hati ”Saya bukan ahlinya Prof. Saya hanya ahli MRI”. Lalu Pak Habibie berkata : Menurut textbook Anda, kalau ada gambaran seperti ini, apa artinya?” Dr. Pulunggono menjawab dengan sopan :”Kanker ovarium stadium 3 atau 4, Prof”. Jarum jam sudah hampir menunjuk angka 13.00. Dan 6 jam lagi pesawat mereka menuju Singapura seperti rencana semula akan berangkat. Pak Habibie segera menelpon Pak Marullah, sekretaris pribadinya dan menyampaikan bahwa hari itu, beliau dan Bu Ainun harus ke Muenchen, Jerman. Mereka tidak jadi naik kapal Queen Victoria. Minta bantuan dicarikan airline yang dapat membawa mereka tanggal 24 Maret 2010 hari itu ke Muenchen. Pesawat langsung atau tidak langsung. Marullah menyampaikan : ”Selain masalah tiket, masih ada masalah visa untuk perangkat dan pendamping Bapak dan Ibu. Mereka belum memiliki visa Eropa. Karena sesuai rencana Bapak dan Ibu baru akhir April akan tiba di Hamburg, maka visa mereka untuk 3 bulan di Eropa disesuaikan.Mendapat visa Eropa susah dan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 2 minggu. Mengenai pesawat, saya harus cek”. Segera Pak Habibie menelpon Duta Besar Jerman Dr.Baas di Jakarta untuk menjelaskan keadaan Ainun. Beliau menyanggupi untuk memberi visa Eropa kepada pendamping mereka, dan meminta paspor mereka segera dibawa ke kedutaan Jerman. Marullah melaporkan semua pesawat ke Eropa penuh baik penerbangan langsung maupun tak langsung. Hari itu satu-satunya penerbangan yang langsung ke Muenchen adalah Lufthansa. Habibie meminta nomor telpon perwakilan Lufthansa di Jakarta dan segera menjelaskan keadaan Ainun. Beliau membutuhkan 2 tiket kelas 1, dan 4 tiket kelas apa saja untuk pendamping mereka. Beliau hanya mau mengkonfirmasi apa yang telah disampaikan Marullah. Pihak Lufthansa berjanji akan menghubungi Habibie 15 menit lagi. Sekitar 15 menit kemudian kepala perwakilan Lufthansa melaporkan ada 2 tiket kelas 1, 3 kelas bussiness, dan 1 kelas ekonomi. Habibie bertanya : Bagaimana Anda peroleh tiket ini jikalau sebelumnya semua sudah terjual?” Jawaban kepala perwakilan Lufthansa singkat :”Setelah saya sampaikan keadaan Ibu Ainun dan masalah yang dihadapi, mereka secara spontan enam penumpang mengundurkan diri. Mereka semua bukan warna negara Indonesia” Merinding, haru dan takjub hati kami membacanya. ”Subhanallah.... betapa Habibie – Ainun mempunyai tempat khusus di hati masyarakat dunia. Semoga demikian pula di mata Sang PenciptaNya" Peristiwa tersebut sudah cukup menjelaskan, bagaimana seorang Pak Habibie begitu dihargai dan dikasihi. Dan dari pertanyaan Pak Habibie yang diawali : “Menurut textbook Anda”, kita bisa belajar. Itu telah cukup menjelaskan bagaimana mendapat informasi yang akan menjadikan si pemberi info merasa aman dan tidak perlu khawatir telah melanggar etika profesi, kekeliruan, dst. Sejak hari itu, buku Habibie – Ainun menjadi salah satu favorit kami. Dimana meski telah khatamdibaca beberapa kali, tetap saja masih enak dinikmati. “Kok gambar Habibie – Ainun dipasang di sini?” Tanya saya setengah terheran saat suatu hari singgah ke kantor suami. Dia hanya tersenyum kecil, dan sekilas berlalu dengan sejenak menatapku. Tatapan yang masih sama seperti 25 tahun yang lalu :):) [caption id="attachment_217311" align="alignleft" width="300" caption="Pwd & Mutia"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H