Menyimak perjalanan hidup orang besar adalah salah satu pembelajaran sangat efektif lagi menarik. Sebuah cara mudah untuk bisa mendapatkan kesegaran pikiran, hiburan gratis, refleksi, introspeksi, dan merupakan petunjuk terang benderang untuk sedikit mengadaptasi, meniru jika tidak mampu mengcopy-nya secara sempurna hal-hal positif, cara hidup, cara pikir, cara berjuang, bersikap dan bertingkah laku, serta cara belajar mereka.
Setidaknya, hanya dengan menyimak produk tangan berupa TULISAN, kita bisa sejenak merasakan, bahwa seolah-olah, kitalah saksi hidup atas apa yang terjadi pada para orang besar yang telah mencatatkan sejarah dengan tinta emas.
Benar bahwa kita mungkin tak ditakdirkan melalui liku-liku hidup seperti mereka. Barangkali, kita juga tak dihampiri peluang-peluang emas yang berdatangan seiring dengan perjuangan dan cobaan yang dilalui.
Maka, di edisi tulisan ini, saya ingin mengajak untuk sedikit menyimak sekilas kisah salah satu orang besar yang saya kagumi meski beliau telah tiada. Beliau adalah Nurcholish Madjid atau sering dipanggil Cak Nur. Beliau telah wafat pada tanggal 29 Agustus 2005, meninggalkan warisan berupa ilmu pengetahuan kepada generasi sekarang dan yang akan datang.
Buah pikirannya menjadi rujukan. Dan obsesinya menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar telah menginspirasi banyak kaum muda. Barangkali, ide super cemerlang dari Anies Baswedan – Rektor Universitas Paramadina dalam meluncurkan Program Indonesia Mengajar bagi para generasi muda pilihan dengan motto : Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi adalah juga buah inspirasi dari sang pendiri Universitas Paramadina, yang tak lain adalah Nurcholis Madjid.
Beruntung Anies Baswedan yang memang adalah generasi muda berbakat dan intelek itu pernah belajar dan berinteraksi secara langsung dari Sang Visoner, Nurcholis Madjid.
Salah satu hasil pemikiran Cak Nur tentang Islam adalah pluralisme. Dimana pluralisme tak lain adalah salah satu inti ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmatan lilalamin ( pembawa rahmat bagi semesta alam ). Beliau juga gencar mempromosikan idenya terkait demokrasi, humanisme, dan modernisasi ala Timur, dan bukan ala Barat.
Buku berjudul : Api Islam – Jalan Hidup Seorang Visioner yang ditulis oleh Ahmad Gaus AF menyimpan banyak kisah yang mengajak kita berfikir dan mendorong untuk terus belajar dan menambah wawasan sebagai seorang muslim yang hidup di era modern seperti sekarang ini.
Tulisan ini tentu tidak layak disebut sebagai ekstrak dari buku setebal 366 halaman itu. Di sini saya hanya sedikit menceritakan kembali sebagian kecil dari sekian banyaknya cerita mengesankan dan memberikan wawasan baru akan sebuah arti hidup. Perjalanan seorang anak manusia dalam mengisi hidupnya dengan ibadah dan amalan-amalan terbaik, terlepas dari segala hal yang menjadi kontroversi atas pikiran-pikiran pembaharuannya.
Nurcholis Madjid, lahir di kota Santri Jombang, 17 Maret 1939 dari pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah, yang berasal dari keluarga dengan tradisi pesantren yang kental.
Orang tuanya memberi nama anak pertama mereka dengan nama Abdul Malik. Namun karena saat kecil sering sakit-sakitan, maka orang tua menyimpulkan bahwa Malik yang berarti “hamba Allah” dimana diambil dari Asmaul Husna yang ketiga) terlalu berat untuk disandang oleh putranya, atau akrab diistilahkan “kabotan jeneng ( keberatan nama). Sehingga, di usia ke 6, mereka mengganti nama Abdul Malik menjadi Nurcholish Madjid.