Lihat ke Halaman Asli

Dita Widodo

Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

Masih ada Jalan untuk Kembali

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejutan awal tahun 2011 buat saya adalah, sebuah telepon dari salah seorang klien ; “Selamat siang Ibu…Terimakasih atas semuanya !!. Terhitung hari kemarin, saya sudah tidak di PT. X. Saya dipecat karena laporan pihak Ibu. Sekarang Ibu puas kan??”

Degg!!! Astaghfirullah…..Sejenak saya terhenyak mendengarnya. Kaget. Antara turut bersedih, ikut kecewa, dan beraneka rasa tak nyaman bercampuraduk menjadi satu. Tentu rasa ‘tidak enak’ karena berarti yang bersangkutan tahu apa yang terjadi. Pun sekaligus ada rasa ‘kesal’ karena pihak manajeman PT. X ‘ingkar janji’.

Ingatan saya langsung melayang ke beberapa bulan terakhir. Ketika dalam kondisi tanpa sengaja informasi bahwa kami memilih mundur dari sebuah pekerjaan penanganan acara karena ketua panitia menghendaki ‘mark-up’ harga sampai ke telinga manajemen.

Saya mohon dengan sangat, Ibu-ibu bisa memberikan data kepada kami terkait apa yang terjadi. Bukti sms atau email akan sangat berarti bagi kami dalam mendorong terciptanya perusahaan yang bersih”, ujar Ibu Ys, salah seorang petinggi perusahaan tersebut. Beliau juga mengapresiasi sikap kami yang tidak bersedia menjadi partner kongkalikong mengambil dana puluhan juta rupiah di perusahan yang beliau nahkodai.

Saya dan sahabat saya saling berpandangan. Awalnya kami bersikeras untuk tidak mau terlibat lebih jauh urusan internal perusahaan tersebut. Dan dari awal bukan menjadi tujuan kami untuk melaporkan hingga ke manajemen, ke pucuk pimpinan pula! Astaga, ini di luar skenario kami.

Sebenarnya, ini berawal dari obrolan ringan. Saya masih teringat detik demi detik bagaimana urusan obrolan per telepon antar sahabat itu berlangsung. Ketika itu, saya dan keluarga hendak mendampingi acara ‘lamaran’ seorang kerabat di Lampung. Saat itu kami menumpang kapal feri untuk menyeberang ke Bakaheuni. Dan sambil menikmati pemandangan laut yang amat mengesankan untuk saya yang baru pertama kali melakukan perjalanan melintasi samudra, saya dan suami mengisi perbincangan ringan.

“Aku lepasin aja deh pekerjaan perusahaan X ya Pak…. Si Pak S kemarin sms ke Mbak Ayi ( teman, red ) kalau harga tiketnya diminta dinaikin. Kita sudah berusaha mengarahkan ke hal-hal yang lebih real, bukan perkara salah atau benar. Dosa atau bukan. Kita sampaikan, bahwa harga itu publish setiap orang bisa mengakses informasi ke sana. Dan itu bisa jadi masalah di kemudian hari karena yang kami ajukan sistem discount dari harga umum itu…”

“Ya sudah, cari aja proyek lain yang lebih baik. Aku juga gitu kok. Ya kalau rejeki biasanya balik lagi. Ingat kan proyek dari PT. G waktu itu? Orang dalam minta nitip 10%, tapi aku tidak menyanggupi. Kusampaikan kami hanya bisa memberikan best price dan best support aja. Akhirnya proyek itu kembali ke kami, meski orang lain yang mendapatkan ordernya…!” Saya tentu hafal caranya memberikan dukungan. Dengan membesarkan hati, dengan memberikan contoh kasus lain yang semakin menggiring sebuah keyakinan bahwa rizki itu tak pernah salah alamat. Bahwa mencari rizki yang halal itu tidak sesulit yang dikhawatirkan banyak pihak. Bahwa memilih mendapat yang sedikit dibanding yang banyak tapi ‘ga jelas’ itu lebih nyaman untuk kami. Bahwa terjadinya korupsi bukan hanya sepihak saja sebagai pelaku. Tapi karena dua pihak yang bersekutu. Antara penyuap, dan yang disuap. Kedua pelaku menanggung resiko yang disediakanNya dengan setara.

Pak F tidak tahu lho kalau kami diminta jadi EO di sana…” saya jadi ingat Pak F, teman suami yang juga bekerja di perusahaan X. Saya berpikir, untuk bercerita padanya setelah semuanya clear. Pak F adalah bagian dari manajemen di PT. X, dan rasanya lebih nyaman jika kami memenangi tender bukan karena pertimbangan ada ‘seseorang kuat’ di sana.

Tak terasa, perjalanan begitu cepat terasa. Dan sesampai di penginapan, entah seperti ada frekuensi yang menghubungkan kami, Pak F menghubungi suami via telepon. Sebagaimana sebelum-sebelumnya, perbincangan antar sahabat itu menyebar ke segala topik. Hingga akhirnya tanpa disengaja ‘keceplosan’lah suami menceritakan perihal rencana mark-up yang menjadikan saya memilih mundur sebagai vendor EO di perusahaan X. Pembicaraan ditutup dengan janji bahwa itu hanya sekadar untuk diketahui. Dan bukan untuk di blow-up.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline