Lihat ke Halaman Asli

Dita Widodo

Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

Memiliki Anak Lelaki seperti Berjudi?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memiliki anak lelaki, ibarat berjudi. Demikian ungkapan seorang ibu yang sampai di telinga saya beberapa hari lalu ketika meluapkan gelisah terkait putranya yang kini terasa ‘hilang’ dari pandangan. Terasa jauh dari jangkauan.

Ya, kabarnya dengan siapa ia bersanding nanti, akan menentukan bagaimana baktinya pada orang tuanya di kemudian hari. Di saat ia telah dewasa, bahkan mengantarkannya ke siklus hidup manusia, sebagai orang tua. Dan ketika itu, ibu-bapaknya pastilah telah menginjak usia senja. Syukur jika masih lengkap keduanya ada, seringkali satu di antaranya telah tiada.

Terkait bakti anak laki-laki akhir-akhir ini sering terdengar berbagai ‘kisah kelam’ tentangnya. Kebetulan saja barangkali, karena saya yakin masih tak terhitung anak-anak lelaki yang berbakti, dengan tanpa harus menyandang predikat miring ‘anak mami’.


Meski beberapa fakta hidup, ternyata ‘menjadi anak shaleh’, tujuan dan cita-cita yang digadang-gadang setiap orang tua ketika membesarkan, mendidik dan merawat dengan sepenuh cinta buah hati mereka, seringkali tidak cukup mudah terlampaui.

Untuk itu, di sini saya ingin coba mengurai benang kusut terjadinya kerenggangan, ketidakharmonisan, atau sekadar keluh kesah para orang tua terkait putra mereka yang dianggap jauh dari harapan pada akhirnya. Dari label ; kurang perhatian, pelit pada orangtua, jarang mengunjungi, kurang berbakti, dan seterusnya.

Adapun keluhan-keluhan yang sering terdengar adalah:

1.Anak lelaki lebih sering terbawa berat sebelah.

Perhatian pada orang tua sang istri (mertua) dirasa lebih besar, karena istri cenderung sebagai pengendali dalam sebuah rumah tangga.

Pastilah hanya wanita kurang berilmu yang sanggup mengabaikan orang tua dari suaminya, yang oleh Tuhan menjadi orang tua baru yang berhak diberikan bakti sebagaimana orang tuanya sendiri. Karena jika ia tahu bahwa seorang anak laki-laki shaleh adalah yang berbakti hingga akhir masa sebaik-baik bakti pada orang tuanya, pastilah ia akan memberi dukungan pendampingnya untuk berbuat baik pada kedua orang tuanya.

2.Anak lelaki cenderung kurang peka alias cuek

Seorang pria mungkin baru akan mengerahkan segala daya upaya berbentuk perhatian pada wanita manakala ia jatuh cinta. Tapi pada cinta pertamanya di dunia? Karena dianggap hal biasa, maka perhatian pada ibunda seringkali tersisihkan, tergantikan dengan kedudukan wanita lain dalam hidupnya.
Tanpa harus mengesampingkan wanitanya, sebenarnya ia mampu berbuat baik pada ibundanya, memberikan perhatian-perhatian kecil misalnya hanya dengan mengingat, betapa di masa kecil ia pun telah dihujani kasih sayang dan perhatian yang tak terbayar sepanjang masa.

3.Anak lelaki seringkali tenggelam dengan kesibukannya

Kesibukan mencari nafkah untuk keluarga, menjalani rutinitas harian yang nyaris tak berjeda membuat mereka seringkali tenggelam dalam dunianya. Anak lelaki yang kini telah bermetamorfosis sebagai lelaki dewasa hanya pulang pada keluarganya sebagaimana lazimnya, selebihnya orang tua dianggap sebagai ‘orang lain’. Terlebih di era modern ini, menyimak pola hidup masyarakat Barat yang hubungan anak-orang tua di kala dewasa kian “berjarak” atas nama budaya dan peradaban yang lebih terdepan.

Lalu, apa sih latar belakang para pria ini kemudian kurang bisa memenuhi harapan orangtuanya jika tidak sampai dikategorikan ‘gagal’ menjadi anak berbakti?

1.Kurangnya dasar-dasar ilmu dan keimanan.

Saya yakin di agama manapun diajarkan bakti terhadap orang tua. Dalam Islam, hal ini amat ditekankan dan menjadi salah satu ‘prioritas utama’ tuntunan manusia.

Dengan amat rinci Al-Quran menyebutkan, bagaimana perilaku lemah lembut pada orang tua hingga bantahan ‘ah! saja sudah cukup menggelincirkan manusia ke lubang dosa.
Termasuk tuntunan bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungjawab penuh pada ibundanya meskipun ia telah berkeluarga. Pemberian pada sang ibu bahkan dihalalkan tanpa perlu sepengetahuan istri karena pastinya Allah tahu, ada beberapa tipe istri yang masuk kategori kurang mampu menempatkan diri. Hal ini pula yang mendasari, mengapa hak waris laki-laki lebih besar dibanding wanita. Karena selain ia adalah kepala rumah tangga sebagai penanggungjawab nafkah keluarga, ia pun masih mempunyai “PR” terhadap kelangsungan hidup orangtuanya selama mereka di dunia.

Lalu tanggungjawab siapa pendidikan anak ini sesungguhnya? Tentunya adalah orang tuanya. Memang kadang sepertinya berlaku semacam hukum sebab-akibat. Dimana ketika semasa kecil hingga dewasa, anak dicukupi segala pintanya. Dimanja dengan segala materi, dengan berbagai pertimbangan. Kebanggaan mempunyai anak yang dapat masuk ke kelas sosial yang diinginkan, atau pun sekadar berpikir tak ingin anaknya mengulang masa sulitnya sebagaimana ketika mereka dulu pernah merasakan kepahitan hidup. Karena rata-rata orang-orang sukses dan kaya pun pernah mengalami kesulitan hidup sebagai orang miskin di masa lalu.

Mereka lupa, bahwa hanya dengan tempaan hidup seseorang bisa menghargai hidup itu sendiri. Hanya dengan beberapa kesulitan, anak akan tahu bagaimana ia harus mengumpulkan segala macam pengetahuan dan ilmu sehingga kelak ia akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, kuat dan mandiri. Pun sebagai manusia yang paham, bahwa sejatinya menjadi anak shaleh dan berbakti adalah satu jalan yang harus ditempuh, bukan sekadar hitungan balas jasa yang tidak akan pernah terbayar, terlebih sebagai sebuah investasi di hari kemudian.

Meski tidak semua hukum sebab-akibat ini memang terbukti 100%. Ada juga mereka yang telah digembleng dengan sangat baik dengan pendidikan keagamaan dan budi pekerti di kemudian hari karena berbagai hal, kemudian lunturlah semua dasar-dasar yang dimilikinya. Entah karena pengaruh lingkungan, terlebih karena yang sering dianggap sebagai penyebab utama ; wanita pendamping hidupnya.

2.Kurangnya jiwa kepemimpinan dalam keluarga.

Seringkali seorang pria mempunyai jabatan tinggi di sebuah kantor. Karirnya demikian cemerlang, ia disegani banyak orang. Tapi bagaimana posisinya di rumah?? Ia lebih banyak menjadi pihak yang menurut kemana mata angin ditiupkan oleh sang pendampingnya. Entah dengan dalih mengabdikan hidup sepenuhnya untuk si wanitanya, atau karena ‘males ribet’ karena sudah lelah dengan urusan pekerjaan dengan segala kerumitannya.

Maka benarlah, bahwa hidup adalah ujian demi ujian yang akan terus menanti dan menghampiri setiap anak manusia sepanjang jaman. Jangan pernah berpikir bahwa ketika seseorang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya, telah mapan bekerja, kemudian memasuki gerbang kehidupan baru berupa rumah tangga telah berakhir semua ujian.

Ternyata ujian lain tetap menghadang. Bagi kaum laki-laki, ada beberapa tugas dan amanah yang harus engkau tunaikan. Seberapa mampu engkau menjadi nahkoda sekaligus pendidik bagi keluargamu. Seberapa kokoh tekadmu untuk menjadi investasi terbaik untuk ibu-bapakmu, sejalan dengan seberapa baik tanggungjawab pada istri dan anak-anakmu.

Jika ada satu dua orang tua yang menuntut perhatian berlebihan, pasti hanya segelintir kecil perkecualian saja. Lainnya, mereka mengharapkan bakti yang wajar. Bahkan tak selamanya yang diharapkan berupa materi atau kebendaan. Sekadar kunjungan berkala pun adalah sebuah perhatian yang membahagiakan. Terlebih jika mereka telah purna bakti, dan tak lagi ada penghasilan, anak laki-laki harus tahu apa yang semestinya dilakukan.

Maka tentang perumpamaan perjudian itu, menurut saya tidak perlu ada,  jika setiap laki-laki berhasil menjadi seorang pemimpin. Ya, menjadi khalifah di bumi ini, tak hanya di luar rumah, terlebih di dalam keluarga Anda sendiri. Tidak perlu harus secara sembunyi melakukan bakti pada kedua orang tua yang adalah sebuah kewajiban mulia. Ajaklah anggota keluarga berbondong-bondong mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada orang tua tercinta. Termasuk pada orang tua pendamping Anda, karena Allah telah menitipkan mereka sebagai sebuah berkah dan karunia yang tak terbilang jumlahnya. Hanya jika setiap kita sedia untuk membuka hati, membaca dengan jernih nikmatNya yang sampai di tangan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline