Lihat ke Halaman Asli

Dita Widodo

Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

Bunda Lisa - Samudra dan Angkasa yang Bernyanyi Memeluk Mimpi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1399176299363050378

[caption id="attachment_322512" align="alignnone" width="300" caption="Bunda Lisa - Samudra dan Angkasa yang Bernyanyi Memeluk Mimpi"][/caption]

Di halaman muka, tercantum nama penulisnya : Jombang Santani Khairen. Dalam hati saya bertanya, siapa lagi nih? Penulis barukah? Sungguh senang melihat bertumbuh suburnya penulis baru dengan ide-ide segar bermunculan di beberapa tahun terakhir ini.

Sejenak, kubaca testimoni beberapa orang yang namanya tak asing di mata dan telinga ;
Bunda Lisa menginspirasi untuk bertindak nyata melakukan perubahan – Jokowi
Sangat menginspirasi saya sebagai seorang ibu muda – Dian Sastrowardoyo
Bunda Lisa membantah anggapan bahwa “jadi pendidik itu susah” – Jusuf Kalla
Layak dibaca bukan saja oleh kaum perempuan, tetapi juga kaum lelaki – Andy F. Noya
Kisah ini kadang teduh indah menghanyutkan, kadang garang menggerakkan jiwa – Ahmad Fuadi

Tanpa pikir panjang, saya mengambil buku itu dari tatanan rak Gramedia Matraman, minggu lalu. Kelihatannya menarik dan inspiratif, demikian pikir saya.  Dari sampulnya,  saya hanya membayangkan profil seorang guru yang mungkin akan banyak membawakan butir mutiara pelajaran yang berguna dalam mengasah hati dan memberikan sudut pandang baru dalam dunia pendidikan anak-anak.

***

Sebuah sajak berjudul Sajak Indra Keenam menyambut mata dalam menelusuri gerbang cerita Bunda Lisa di tanganku.

Seperti bangunan, cinta suci butuh fondasi yang kuat.
Komitmen dan kepercayaan adalah dua dari empat fondasi utama. Ketika dua hal itu rapuh, maka bangunan itu akan rentan. Makin tinggi bangunan itu, makin kuat angin yang menerpanya, ketika inilah dua fondasi tadi akan terasa manfaatnya.

Ketiga, jadikanlah ia sahabatmu. Menjadi bahu dan telinga tempat bersandar dan saling mendengarkan. Selalu berjalan di sampingnya, bukan di depannya ( karena terlalu egois), atau pun di belakangnya, karena terlalu lemah. Berdiri di sampingnya, kau bisa menatap dan melindunginya, bernapas di udara yang sama. Dengan di sampingnya, fondasi itu akan seimbang, tidak berat sebelah.

Terakhir, dan yang paling penting adalah saling memperjuangkan. Kau mencintainya, maka peluklah mimpi-mimpinya yang kemudian akan menjadi mimpi-mimpimu juga. Bangunan itu makin indah.

SM

Belakangan, baru  saya baru menangkap, bahwa beberapa baris sajak di atas adalah hadiah dari sahabat Bunda Lisa kepadanya. Nasehat seorang sahabat dalam memberi kekuatan seperlunya.

***

Bunda Lisa. Siapa gerangan sosok Bunda Lisa, sungguh tak terlintas dalam pikir bahwa ternyata saya pun adalah salah seorang yang beruntung karena mengenal beliau dengan cukup baik. Meski hanya beberapa kali bertemu dan berbincang ringan.

Beliau adalah Ibu Lisa, yang tak lain adalah pengelola/pemilik PAUD Kutilang – Kranggan, Bekasi. Yang adalah istri dari Guru Besar FE-UI, Prof. Dr. Rhenald Kasali.  Perkenalan dengan Bu Lisa sekitar tahun 2010 lalu,  sesungguhnya sebuah hal yang tak terencana. Ketika itu, PAUD Kutilang adalah salah satu klien yang menghubungi kami untuk memesan paket wisata pelajar. Salah seorang gurunya mengatakan bahwa, untuk detail kegiatan dan pembahasan term of payment Ibu Lisa ingin bertemu dengan saya, dan tidak berkenan diwakilkan. Saya pun menyetujui. Hitung-hitung memperluas silaturahim, demikian selalu niat yang saya bangun supaya lebih ringan melangkahkan kaki.

Sekolah itu bukan terletak di perumahan, tetapi lebih mirip perkampungan dengan gang-gang cukup sempit mengelilingi di sana-sini. Meski jalan menuju ke lokasi cukup lebar, tapi sungguh tak menyangka jika ternyata hari itu kaki saya menuju kediaman seorang tokoh yang bahkan saya banyak membaca buku-buku karya beliau. Sebut saja Mutasi DNA Powerhouse, Marketing in Crisis, Myelin, Change!, adalah buku-buku tebal yang ternyata setelah kita baca amat renyah dan mudah dicerna. Benarlah bahwa orang pintar adalah mereka yang mampu menyulap hal-hal sulit menjadi mudah. Hal yang berat menjadi ringan terasa.

Bu Lisa, wanita cantik berkulit bersih itu hangat menyambut saya dan mengajak berdiskusi bak seorang kawan lama. Dan tanpa saya tutupi, saya mengatakan bahwa suatu hari  mohon diperkenankan berkunjung kembali untuk bisa bertemu dengan salah seorang cendekiawan yang kami ( saya dan suami, red ) kagumi. Beliau tentu saja mengangguk dengan senyuman lebar yang menawan. Mungkin juga sudah ratusan kali beliau bertemu dengan para pembaca /fans suaminya.

Setahun berikutnya, saya bukan hanya berkesempatan bertatap muka dengan Pak  Rhenald Kasali, tapi bahkan berkesempatan mengikuti “Pelatihan Guru Menulis” di rumah Perubahan yang dimotori oleh Pak Rhenald sendiri. Pelatihan yang semestinya diperuntukkan guru-guru sebagai agen perubahan itu, akhirnya memberikan kesempatan saya untuk ikut bergabung menjadi salah satu peserta, karena sebuah alasan yang berkali-kali coba saya yakinkan pada panitia. Bahwa bilamana saya memiliki sedikit saja keahlian atau trik-trik menulis dengan baik, saya akan menularkannya pada siapa pun yang berminat menjadi teman belajar di kelak kemudian hari. Setidaknya, saya bisa menyusun resensi buku dengan baik, hingga lebih banyak orang yang dapat memetik sari patinya.

***

Saya teringat lirik lagu Pady yang cukup dalam berkesan ; Aku mengenal dikau tak cukup lama, separuh usiaku. Namun begitu banyak pelajaran yang aku terima.

Ya, meski hanya beberapa kali dan itu pun beberapa saat berinteraksi dengan Bu Lisa, saya bisa menangkap banyak pelajaran yang tersirat di sana. Kesederhanaan. Kemauan berbaur dengan warga perkampungan, dan berkontribusi dalam berbagai kegiatan sosial. Bu Lisa dan keluarga bisa saja memilih tinggal di hunian mewah di pusat kota. Namun mereka memilih mendekatkan diri dengan kalangan pinggir, dan membuat berbagai karya yang dalam kacamata saya adalah sebuah mahakarya.

Sebuah sekolah PAUD gratis dengan metode pelajaran yang bermain dan belajar yang amat terkonsep dengan baik. Dari novel yang rasanya nyaris 95% diambil dari kisah nyata kehidupan seorang Bunda Lisa, semakin terang benderang bertutur secara naratif perihal apa saja yang beliau lakukan.  Dengan lebih rinci, buku ini menceritakan bagaimana Bu Lisa memulai semuanya dari nol kiprahnya di bidang pendidikan anak-anak usia dini yang adalah berbekal rasa ‘tergugah/terpanggil’ untuk berbuat sesuatu bagi negeri tercinta ini.

Dimulai dari posyandu yang digerakkan dan didirikan di garasi rumahnya, beliau berhasil membuat perubahan kecil. Yang adalah memberikan pendidikan pada masyarakat akan pentingnya pola hidup sehat,  membuka wawasan kenapa sedari anak dalam kandungan seorang ibu harus mempersiapkan banyak hal terkait tumbuh kembang putra-putrinya. Juga pengobatan gratis bagi beberapa penyakit ringan.

Setelah posyandu yang diadakan setiap dua pekan sekali, Bu Lisa dengan persetujuan suami lalu mendirikan PAUD, yang ditujukan untuk anak-anak tidak /kurang mampu. Tujuannya adalah membekali mereka dengan sebuah keberanian bermimpi, dan kemudian mewujudkannya. Mimpi yang bukan terjadi dikala tidur, tetapi sebuah hal yang mesti diperjuangkan ketika manusia terjaga/terbangun. Anak-anak itu tak bisa memilih untuk lahir di keluarga kaya, namun mereka bisa mensyukuri kenyataan yang ada dengan menggenggam sebuah harapan untuk memperbaiki nasib di kemudian hari.

Bunda Lisa ditemani seorang supir mencari sendiri ke pelosok desa calon-calon muridnya. Beliau menyeleksi sendiri, anak dari keluarga seperti apa yang akan ditempa menjadi permata-permata berkilauan.

Selain itu setiap dua pekan sekali, para orang tua juga diberikan pelatihan ‘parenting’ agar menyelaraskan irama pendidikan di sekolah maupun di rumah. Jika di sekolah telah diajarkan bagaimana pola hidup sehat dengan memakai alas kaki, mencuci tangan sebelum makan, memilah-milah sampah organik dan non organik. Mereka juga diajarkan bagaimana menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, perbedaan suku, dst.  Seorang murid yang beragama Katolik dan Hindu misalnya, diminta berdiri membaca doa menurut agamanya masing-masing, sementara kawan-kawan yang beragama mayoritas Islam mendengarkan, untuk lalu bergantian salah seorang maju mempimpin teman-teman muslim membaca doa sesuai ajaran Islam.  Mereka dibiasakan melihat aneka perbedaan, dan menghargai sebagai bagian dari harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara, dan berbhineka tunggal ika. Dan masih banyak pelajaran lain yang orang tua pun perlu paham dan memberikan dukungan yang diperlukan. Karena apalah artinya pemahaman di sekolah ditanamkan jika tidak didukung oleh lingkungan keseharian di rumah kan?

Perlahan tapi pasti jerih payah Bunda Lisa membuahkan hasil yang menjadi sumber kebahagiaannya. Meski ia harus berhemat benar, karena semua biaya operasional sekolah masih ditanggung oleh keuangan pribadinya.

Berbagai kisah harian yang dipaparkan dengan sangat inspiratif dan penuh pembelajaran bagi para orang tua, tumpah ruah di setiap lembarnya. Hingga mata kita tak akan lelah dan bosan untuk terus menyimak cerita yang bermuatan energi sekaligus motivasi untuk menjadi ibu-ibu terbaik bagi putra-putri kita, menjadi guru-guru terbaik untuk murid-murid yang dipercayakan ke tangan Anda, wahai para pahlawan tanpa tanda jasa.

***

Yang tidak kalah menarik adalah, ketika di sana diceritakan bagaimana jalinan cinta dua anak manusia itu jika terbina dan terjaga dengan baik. Maka akan saling mendukung dalam kepayahan, dan saling memberi energi dalam setiap waktu yang dilalui. Bunda Lisa dan sang suami mungkin adalah bab lain dari kisah cinta sejati selain Habibie dan Ainun.

Ada seorang wanita hebat di belakang pria hebat. Kembali kalimat itu teruji. Salah satu hal yang membuat saya terhenyak adalah ketika itu Pak Rhenald mendapat tawaran dari tempatnya bekerja untuk melanjutkan program master di Universitas Ilinois, Amerika. Atasan di kantor dan dosen yang dekat dengannya merekomendasikan kuliah di sana.

Awalnya Pak Rhenald menanggapi pesimis “ Uang untuk hidup bisa cukup saja sudah mujur, sekarang kuliah pula jauh-jauh.” Namun berkat dorongan sang istri, kemudian ia berangkat juga. Ketika itu mereka belum lama menikah, dan anak pertama masih terbilang amat kecil.

Pak Rhenald membawa uang sebanyak USD 19,000. Dari total dana itu, US 14,000 berasal dari jerih payahnya sendiri yang dikumpulkan selama ini. Antara lain dari kerja sampingan seperti honor menulis di beberapa media, dll. Sisanya, ia meminta pada beberapa atasannya dan dosen-dosen lain yang merasa kasihan. Berangkatlah ia ke tanah Paman Sam. Sebelumnya, ia harus mengikuti program penyetaraan dan persiapan di Boulder selama 3 bulan.

“Uang pendaftarannya tidak cukup. Perlu USD 32,000. Aku tidak tahu kenapa, tadinya hanya USD19,000,” suara suaminya sembap dan parau, terdengar ia baru saja menangis sebelum menelepon sang istri. Bagaimana mungkin kesalahan informasi uang pendaftaran ini bisa segitu jauhnya, sungguh sebuah masalah besar yang tengah dihadapi.

“Sepertinya aku memang tidak ditakdirkan untuk lanjut kuliah. Sebaiknya aku pulang saja ke Indonesia. Kita jalani saja hidup seperti biasa, biarlah susah yang penting kita bahagia. Aku tidak harus punya gelar master. Aku, aku hanya merindukanmu” Tambahnya lagi. Meski sangat jauh di ujung bumi lainnya, kesedihan sang suami menjalar amat cepat ke hati dan matanya. Hingga keduanya terisak bersama dalam tangisan yang tak mampu tertahankan menahan sesak di dada.

“Bang, jangan pulang. Abang sudah di sana, lanjutkan sajalah. Sekarang uang yang ada, gunakanlah dahulu untuk mendaftar di Colorado. Untuk yang Illinois, kan masih beberapa bulan lagi. Sampaikan pada pihak Illinois untuk minta sedikit keringanan dan tenggang waktu. Masih bisa dicari uangnya. Aku yang akan mencarinya di sini. Kekurangann USD 14,000 itu, sedikit kok.”

“Kemana kamu akan mencarinya? Aku saja butuh waktu setahun lebih untuk mengumpulkan yang kemarin,” kalimat suaminya terbata-bata.

“Bang, aku akan cari, akan aku usahakan. Sekarang carilah makan. Abang pasti lapar, kan?  Jangan ditahan-tahan kalau lapar. Kalau Abang sakit di sana siapa yang akan mengurus? Aku jauh di sini.” Karena Bu Lisa tahu suaminya membawa uang pas-pasan.

Malam itu Bu Lisa tak mampu memejamkan mata. Ia tak tahu sama sekali kemana hendak mencari uang sebanyak itu. Ditambah dengan ada Jordan, putra pertamanya yang masih sangat kecil pula. Hanya ada tangis dan doa, mohon diberi petunjuk jalan untuk mendapatkan solusi permasalahannya.

Esoknya, setelah membicarakan dengan beberapa teman, dan pikirannya mulai jernih, ia memutuskan mendatangi kantornya. Mendatangi kenalan dan atasannya untuk meminta bantuan. Juga ke beberapa media yang tempat sang suami sering mengirimkan tulisan. Dengan membawa si kecil berpanas-panasan membelah ibukota, Bu Lisa memohon bantuan /pinjaman  pada kawan dan kerabat suaminya. Ada beberapa yang memberikan, tapi juga ada yang menolak bahkan mengusirnya. Wanita itu hanya menangis di depan gedung megah yang angkuh itu.

Uang yang kurang untuk mendaftar itu rasanya tidak pernah cukup dikumpulkan, meski berbagai tempat sudah diusahakan.  Banyak harta benda yang dijual, tinggal rumah saja yang tersisa karena suami melarang menjualnya. Dan ketika batas pendaftaran di Illinois sudah semakin dekat, datanglah pertolonganNya. Seorang menteri yang juga dosen suaminya ketika sarjana dulu tersentuh mendengarkan cerita Bu Lisa. Akhirnya dialah yang menutup kekurangan yagn harus dibayarkan. Sebuah hal yang nyaris mustahil,  terlampaui sudah. Sebuah kisah yang amat menggetarkan hati tentu saja.

Sebenarnya ada hambatan lain lagi setelah masalah keuangan tercukupi. Setelah Pak Rhenald diterima di Illinois, kantornya di Jakarta menginstruksikannya untuk pulang ke Indonesia. Kabarnya ada pekerjaan yang membutuhkan keahlian beliau, dan tidak bisa diserahkan pada orang lain. Beliau pun patuh, menurut.  Kembali sang istri memberikan masukan, untuk menegoisasikan pada pihak kampus agar diberi kelonggaran/dispensasi, sehingga kuliah bisa dilanjutkan tahun depan.

Maka demikianlah, tahun berikutnya Rhenald Kasali benar-benar jadi melanjutkan program masternya di universitas tersebut.  Sang istri menyusul membawa putra pertama yang masih kecil, dan di sana ia pun bekerja sebagai baby sitter dengan mengasuh 8-10 anak tiap harinya. Dengan penghasilan USD 900-1,000 per bulan itu, ia bisa membantu suami menopang hidup di negeri rantau. Rhenald Kasali sendiri sebelumnya juga bekerja paruh waktu sebagai loper koran, untuk membiayai hidupnya. Dengan bantuan sang istri yang cerdas dan terus mau belajar, keluarga muda itu mampu menjalani harmoni kehidupan dengan orchestra indah yang terus melantun di sepanjang jalan.

Sungguh, nyaris setiap lembar buku ini bermuatan inspirasi dan energi positif, sehingga terasa sulit untuk menghentikan jemari ini menuangkan kembali di lembaran ini. Namun Anda akan lebih mencerna dan meresapi hidangan lezat tersebut tentu dengan menyimaknya sendiri.

Jika kita melihat kesuksesan seseorang di hari ini, jangan pernah iri atau pun berkomentar miring tentangnya. Karena kita tidak pernah tahu, seberapa berat dan panjang perjuangannya di masa lalu. Ya, karena hari ini adalah akumulasi apa yang kita lakukan di masa lalu. Dan itu berarti, masa depan adalah apa yang kita mulai di hari ini. Tidak ada kata terlambat untuk siapa pun yang berkenan untuk berbenah diri dan membuat perubahan-perubahan kecil, sejauh tangan meraihnya.

Sumber :

Judul Buku : Bunda Lisa - Samudra dan Angkasa yang Bernyanyi Memeluk Mimpi
Karya            : Jombang Santani Khairen
Jumlah         : xiii + 268 halaman
Penerbit       : Gramedia Pustaka
Harga            : Rp. 62.000,-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline