Seringkali kita mendengar bahwa perempuan kurang dalam berpikir logis dan lebih menggunakan hati, sedangkan laki-laki sebaliknya. Benarkah demikian? Nampaknya pada fakta mendasar, kemampuan seorang perempuan untuk berpikir logis adalah sama sebagaimana laki-laki berpikir logis. Banyak laki-laki yang kurang bernalar dengan baik sehingga kurang mampu dalam memikirkan hal-hal yang logis. Dengan adanya hal ini, secara langsung dapat pula dikatakan bahwa laki-lakipun kurang dalam berpikir logis.
Ketidakmampuan perempuan untuk berpikir logis dimulai pada bagaimana masa lalu menciptakan suatu situasi atau suasana yang membuat perempuan mendapatkan perjalanan dan pengalaman yang berbeda dari laki-laki. Bahkan jika dilihat dari zaman kuno, perempuan sudah mendapatkan perjalanan hidup yang berbeda di mana hal ini membuat mereka mengalami keterbatasan dalam melakukan sesuatu.
Dalam sejarah gelap Amerika, terdapat sejarah perbudakan kulit hitam. Kulit putih pada zaman itu berpikir bahwa ras mereka tinggi dan ras kulit hitam rendahan, yang lebih terkesan sadis sebagaimana manusia dan semut atau manusia dan hewan ternak. Untungnya, perbudakan ini berhasil dihentikan secara hukum oleh Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16. Dari satu sejarah ini saja dapat kita lihat bagaimana suatu ras pernah melakukan hal-hal yang merenggut kemerdekaan suatu kelompok.
Dalam kasus lain, kita perlu mempertanyakan, apakah di masa lampau pernah terjadi oleh laki-laki berusaha untuk membatasi pergerakan perempuan untuk tetap di rumah, dituntut untuk lebih sopan, tidak diperbolehkan menyampaikan pendapat, atau tidak diperbolehkan lebih pintar dari laki-laki? Dengan situasi seperti pada pertanyaan barusan, membuat perempuan merasa percuma saja untuk menjadi pribadi yang ingin merdeka.
Namun, doktrin perempuan tidak bisa berpikir logis nampaknya mengalami perubahan makna. Pada zaman modern, hal ini justru menjadi senjata bagi perempuan untuk menantang laki-laki khususnya dalam percintaan. Terdapat begitu banyak bias dalam stereotipe ini, seolah produk lama yang diperbarui. Contoh, jika seorang perempuan melakukan kesalahan, ia akan mengharap dan menunggu pasangannya untuk minta maaf duluan, hal ini berangkat dari bagaimana kita berpikir bahwa perempuan adalah makhluk rapuh dan berpikir menggunakan hati, dalam stereotipe bahwa perempuan tidak bisa berpikir logis seolah diberikan zona yang lebih nyaman, kenapa harus repot untuk minta maaf jika dirinya adalah makhluk yang jauh dalam ketidaksadaran kita mengatakan mereka lebih menggunakan hati sehingga seolah tidak diharuskan lebih dulu memulai minta maaf.
Di dalam berbagai sejarah, berbagai kesenian, agama dan budaya, bahkan dalam ruang lingkup keluarga, banyak sekali cerita dan ajaran bahwa perempuan haruslah santun, tidak diperbolehkan tertawa nyaring, rajin, tidak diperbolehkan mengejar laki-laki dan seterusnya, kemudian laki-laki haruslah menjadi pelindung, penyedia harta bagi pasangan dan anak-anaknya, menjadi makhluk yang lebih dulu mengejar perempuan, dan seterusnya.
Tentu, hal ini sudah sulit sekali dihentikan. Jika memang pada mulanya ini adalah politik yang dimainkan oleh laki-laki, maka sekarang menjadi politik yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan pula. Tidak heran jika kita menemukan perdebatan bahkan perkelahian antara sejumlah laki-laki dan sejumlah perempuan dalam perbincangan mengenai peran keduanya, topik ini sulit sekali mengalami universalisasi sebab selalu bertabrakan antara subjektivitas dan objektivitas, mulai dari agama, budaya, perubahan zaman, dan seterusnya.
Namun, kesimpulannya adalah bahwa sebenarnya perempuan dapat berpikir logis sebagaimana laki-laki berpikir logis. Yang membedakan adalah situasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, dan hal ini berasal dari masa lalu, budaya, agama, dan variabel lainnya.
Bagaimana menurut Anda? Benarkah perempuan kurang mampu berpikir logis?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H