Kita harus berhati-hati! Kata singkat dan tajam yang diucapkan oleh ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. Kalimat tersebut Chatib Basri ucapkan ketika mengomentari fluktuasi rupiah dan masuknya kembali arus pasar modal.
Bagi beberapa orang adalah hal positif yang harus dihadapi dengan optimisme. Kembalinya arus modal di pasar keuangan memang menjadi sapaan manis bagi pemerintah di awal tahun 2019 ini, karena rupiah dan pasar keuangan mendapatkan dampak positif, sehingga menguatkan secara signifikan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat (AS).
Tapi kita juga mesti paham dan harus siap dengan konsekuensi yang akan kita hadapi setelah itu. Pasalnya arus modal yang masuk pada pasar keuangan RI ini hanya bersifat "hot money" yang tidak menutup kemungkinan akan kembali pergi dikemudian hari. Chatib Basri menambahkan penguatan rupiah terhadap dollar adalah efek dari the Fed yang menahan diri (bersabar) untuk menaikkan tingkat suku bunga di AS.
Memang rupiah mengalami penguatan sebagai dampaknya, tapi hal tersebut justru adalah peringatan dini akan adanya krisis dan gejolak pasar. Masuknya arus modal ke pasar keuangan tersebut layaknya nyala lilin dipenghujung sesaat akan padam, terang benderang sekejap lalu menyisakan gelap gulita dikemudian waktu.
Hal tersebut dimungkinkan karena arus modal yang masuk tidak berkesinambungan, dia tidak menetap, hanya singgah untuk sementara waktu. Ketika the Fed kembali melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga maka arus modal akan dengan cepat kembali meninggalkan pasar keuangan Indonesia. Keadaan tersebut akan menciptakan guncangan pada pasar keuangan dan rupiah pun bisa kembali anjlok.
Ketika menghadapi situasi ini Pemerintah seharusnya lebih mengedepankan penguatan juncto pendalaman pasar keuangan. Bukan sekedar bergembira merayakan menguatnya rupiah. Kita seharusnya lebih mendorong penguatan pada kemampuan investor dalam negeri, agar pasar obligasi kita bisa mandiri, tak tergantung pembiayaan dari asing.
Setali tiga uang dengan fluktuasi nilai tukar rupiah yang mengalami kenaikan, cadangan devisa RI pun juga naik ke nilai US$ 120,6 miliar. Tapi saya cadangan itu meningkat bukan hasil dari pertumbuhan ekonomi atau ekspor RI yang meningkat drastis, melainkan hasil dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN).
Penerbitan SUN itu tidak lain adalah bentuk pinjaman utang yang dapat diperoleh secara instan oleh pemerintah demi keperluan menambah Anggaran Pembelanjaan Negara. Pemerintah menerbitkan SUN dalam bentuk denominasi dollar Amerika Serikat (AS) atau global bond dengan format SEC-Registered Shelf senilai US$ 3 miliar. Ini merupakan kali kedua pemerintah menerbitkan global bond dengan format serupa, dengan dalih untuk stabilitas dan memacu pertumbuhan ekonomi
Naiknya nilai tukar rupiah dan cadangan devisa negara dalam kalkulasi ekonomi tidak jadi jaminan RI dalam kondisi untung, salah-salah kedepannya jika miskalkulasi dan misplaning justru In donesia akan buntung.
Sumber: