Lihat ke Halaman Asli

Gita Mundur, Muncul Kegaduhan Politik Baru

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391220470948278731

[caption id="attachment_319563" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com/Sabrina Asril)"][/caption]

Menteri mundur sebelum usai dari jabatannya tentu bukan peristiwa biasa. Di negara mana pun hal itu pasti menimbulkan kegaduhan politik. Pasalnya, seorang menteri merupakan posisi puncak manajerial sebuah objek kebijakan dari lembaga eksekutif.

Gita Wirjawan menyatakan mundur dari posisinya sebagai Menteri Perdagangan per 1 Februari 2014. Banyak orang terkesima dan spekulasi pun muncul dengan argumentasi beragam. Implikasinya bukan hanya pro-kontra melainkan memunculkan letupan-letupan dari berbagai penjuru.

Ibarat pertempuran, terjadi tembakan-tembakan dari sana-sini tanpa diketahui mana lawan, mana kawan, saking banyaknya suara tembakan yang berdesingan. Dari situ muncul kegaduhan baru, menambah kegaduhan-kegaduhan lama menyangkut berbagai hal dalam kehidupan politik kita. Mari coba kita telusuri satu per satu.

Gita sendiri sudah sangat gamblang menjelaskan alasannya di media. Ia ingin konsentrasi pada Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Dari mulutnya terlontar pernyataan bahwa hal itu dilakukan atas pertimbangan moral, etika politik dan kepatutan. Ia tidak menginginkan terjadi konflik kepentingan antara tugasnya sebagai menteri dan keikut-sertaannya dalam konvensi.

Secara umum, ceteris paribus, tindakan Gita akan mengundang simpati publik. Publik akan menghormati langkah Gita menegakkan moral, etika politik, dan kepatutan praktik penyelenggaraan negara. Ujung dari simpati publik ini akan menguntungkan posisi Gita di konvensi. Elektabilitasnya akan naik, langkah mundurnya dari jabatan publik dapat memperbesar peluangnya untuk menang konvensi.

Kegaduhan di ranah manajemen pemerintahan

Namun kondisi ceteris paribus tidak terjadi sehingga dampak yang diingankannya itu juga meleset. Momentum yang mengubah kondisi ceteris paribus itu adalah skandal impor beras ilegal dari Vietnam di mana kementerian yang dipimpinnya memegang faktor penting melalui izin impor yang dikeluarkannya.

Sejauh ini skandal impor beras belum menemukan titik terang. Kementerian Pertanian yang berwenang memberikan rekomendasi merasa tidak memberikannya, seperti dikatakan Menteri Suswono. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sendiri tidak dapat diklarifikasi secara jelas sikapnya terhadap izin impor beras Vietnam yang menjadi skandal itu. Belakangan berbarengan dengan pernyataannya untuk mundur, baru ia menegaskan akan menindak importir beras yang dianggap menyimpang tersebut.

Mundurnya Gita tidak terlepas dari kalkulasi politik yang diperhitungkan Gita dan tim sukses pemenangannya untuk konvensi. Mereka telah salah mempersepsi momentum. Dikiranya dengan semakin dekatnya konvensi pada tahap final mundurnya Gita akan menguntungkan secara politik. Hal ini tersirat dari pernyataan Kastorius Sinaga yang mengetuai tim sukses Gita dalam wawancara di sebuah stasiun televisi.

Kenyataannya, mulai muncul penilaian bahwa langkah Gita itu mencerminkan sikap pemimpin yang “tinggal gelanggang colong playu” atau lari dari tanggung jawab. Sebagian publik merasa ditinggal oleh pemimpin yang mestinya bertanggung jawab terhadap serangan komoditas pertanian yang menghancurkan tataniaga beras di dalam negeri. Pasar beras telah dikacau dan petani padi dan pedagang beras dibiarkan babak belur tanpa perlindungan dari pemimpin yang mestinya mampu meredam kekacauan itu.

Walhasil, elektabilitas Gita yang mungkin diharapkan melejit oleh orang-orang yang mendukungnya, faktanya malah sebaliknya. Langkah Gita yang dianggapnya dapat menarik simpati publik karena Gita menjunjung moral, etika politik, dan kepatutan justru menjadi bumerang.

Pihak Gita berulang kali menyatakan bahwa langkah mundurnya sudah diajukan kepada Presiden sejak lama yakni Oktober 2013, seperti yang antara lain dikemukakan MS Hidayat (Detik.com, 31/1/2014). Meskipun demikian, publik tidak gampang diyakinkan dengan alibi tersebut.

Kegaduhan di ranah politik lebih bising

Mundurnya Gita tak pelak lagi menimbulkan kegaduhan di ranah politik yang kuat. Posisinya sebagai menteri dan peserta konvensi capres sudah cukup menjadi alasan terjadinya gempa politik dalam skala tertentu. Gempa politik yang episentrumnya berada di kabinet pasti mempunyai getaran yang signifikan di ranah politik.

Ibarat lidi yang ditegakkan, terguncang sedikit saja di pangkalnya akan menimbulkan getaran yang lebih kuat di ujungnya. Getaran gempa politik itu kian kencang dengan munculnya getaran-getaran baru dari elite politik lainnya. Tanpa dikomando mereka serentak mengeluarkan pernyataan tak kalah sengit satu sama lain. Motif yang dibawanya bermacam-macam sehingga posisinya ada yang mengecam, mengkritik, dan mendukung langkah Gita.

Marzuki Alie termasuk yang perlu angkat bicara. Sebagai sesama peserta konvensi capres wajar ia kena senggol oleh langkah politik Gita. Dengan modus membandingkan posisi Presiden yang mempunyai tugas jauh lebih banyak daripada Gita, ia mengkritik Gita.

"Itu ujiannya. Tugas seorang presiden itu banyak sekali, dan ikut konvensi adalah uji kemampuan. Mampu enggak kita jadi presiden yang tugasnya 1.001 macam. Ini baru merangkap dua sisi saja sudah enggak bisa, ya kita juga dipertanyakan nanti," kata Marzuki di Jakarta, Jumat (Kompas.com, 31/1/2014).

Marzuki tersirat berasumsi bahwa semakin banyak tugas seseorang, akan semakin layak seorang peserta konvensi untuk menjadi Presiden. Sebuah asumsi yang tidak tepat. Marzuki menafikan anggapan yang sudah diakui di dunia politik, khususnya tentang konflik kepentingan seperti yang diungkapkan Gita yang menjadi alasannya ia mundur.

Di dunia politik ada ungkapan yang terkenal, loyalitas seorang politikus kepada partai akan berakhir ketika loyalitas kepada negara berawal. Ini ungkapan yang mencerminkan moral, etika, dan fatsoen politik yang mesti dipegang oleh para politikus mana pun.

Tanggapan juga muncul dari PDIP yang dikemukakan oleh Hendrawan Supratikno yang justru bersimpati kepada Gita, bahkan menilai sikap Gita seharusnya dilakukan pula oleh para pejabat publik yang juga memiliki jabatan politik.

Mundurnya Gita telah menyenggol kepentingan para menteri hingga Presiden yang sibuk mengurus partai masing-masing.

Seperti sudah diketahui oleh publik, Presiden hingga para menteri di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II adalah ketua umum partai.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah Ketua Umum Partai Demokrat.

Berikutnya adalah Menteri Agama Suryadharma Alie yang merupakan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang merupakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang merupakan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).

Ada pula Menteri BUMN Dahlan Iskan yang juga ikut dalam Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat seperti Gita.

Publik terus disuguhi tontonan politik yang amburadul

Publik sebetulnya telah jengah dengan akrobat politik para elite dari berbagai partai dan pejabat. Peristiwa demi peristiwa skala nasional mulai dari urusan remeh-temeh perseteruan internal partai antara Anas Urbaningrum, dkk. dan SBY dan pendukungnya yang berekor panjang.

Juga pencalegan perempuan-perempuan seronok yang menunjukkan kinerja partai yang asal-asalan; harga kebutuhan pokok yang makin melambung; sampai peristiwa keputusan MK tentang pemilu serentak yang menyisakan debat sengit.

Publik masih akan disuguhi tontonan politik yang semrawut alias amburadul dari para pemimpinnya akibat syahwat politik yang meluap tak terkendali. Kebutuhan publik yang di depan mata seperti bencana gunung Sinabung meletus, gempa bumi di Cilacap, Kebumen, dan merembet ke kota-kota lain, banjir besar di banyak kota,belum ditangani dengan tuntas. Tetapi para elite sibuk mengurus kepentingannya sendiri dan partainya.

Kapankah publik dilayani sebagai beneficiary, yakni pihak yang menjadi subjek kebijakan politik dan yang sengaja diuntungkan dari setiap kebijakan itu? Publik telah terlalu jengah dianggap sebagai pelengkap penderita dari para elite yang berperan sebagai rent-seeker dari setiap kebijakan politik yang dibuatnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline