Lihat ke Halaman Asli

Sudah Saatnya Berhenti Memanjakan Kubu Prabowo

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari pemilihan Presiden 2014 ini terasa melelahkan karena terlalu banyak adrenalin yang dikeluarkan oleh bangsa ini terkait perseteruan antara kubu capres Prabowo dan kubu Jokowi. Banyak fakta yang terjadi yang seolah-olah memanjakan kubu Prabowo. Memanjakan adalah perbuatan serba membolehkan, menenggang rasa, atau menuruti kemauan orang yang dimanjakan demi kesenangan orang yang dituruti kemauannya tersebut.

Kemanjaan itu sebagian besar diberikan kepada kubu Prabowo oleh berbagai pihak mulai dari pihak massa pendukung Prabowo, anggota koalisi Merah-Putih yang terdiri dari partai-partai politik yang secara resmi mendukung pencapresan Prabowo-Hatta, institusi pemerintah, para pendukung per orangan yang namanya dikenal luas, bahkan sebagian dari kubu Jokowi sebagai kompetitor dalam pilpres, serta bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kemanjaan itu dapat bersifat disengaja karena “begitu sayangnya” kepada Prabowo yang memang memiliki sifat karismatik, dapat pula tidak disengaja karena alasan-alasan “tidak mau ribet” berurusan dengan kubu Prabowo. Kemanjaan itu juga dilakukan di sebelum proses pemilu berlangsung, sepanjang proses pilpres, di ujung awal pada saat proses yang menuntut keaktifan penyelenggara (KPU), proses kampanye, sampai di ujung akhir proses yang merambah ranah hukum (gugatan PHPU, perselisihan hasil pemilihan umum, di Mahkamah Konstitusi oleh kubu Prabowo).

Kemanjaan pertama

Dapat kita saksikan betapa mewah kemanjaan yang diberikan kepada Prabowo pada sebelum proses pemilu dimulai dengan membiarkan Prabowo berkampanye di media elektronik (radio, TV, internet) dan media cetak (koran dan majalah). Kendatipun tindakan berkampanye sebelum saatnya merupakan tindakan melawan hukum, akhirnya Prabowo tidak dikenai tuntutan hukum.

Kubu Prabowo, tentu saja, memiliki argumentasi bahwa penampilan dia di media massa bukanlah kampanya melainkan sosialisasi atau kata-kata sejenis yang intinya membantah bahwa hal itu merupakan kampanye.

Dapat diduga, kampanye yang dilakukan secara terstruktur-sistematis-dan-masif tersebut menuai panen dukungan dari khalayak. Pada survei-survei tingkat elektabilitas Prabowo merupakan tokoh capres yang sangat banyak diminati responden. Pada saat-saat menjelang penentuan dukungan oleh partai-partai yang tak mampu mengusung calon Presiden berhubung terkendala presidential treshold, Prabowo menduduki peringkat ke-2 setelah Jokowi yang akhirnya secara resmi ia dinobatkan sebagai salah satu capres dari hanya dua capres yang bersaing (melawan capres Jokowi-Jusuf Kalla).

Kemanjaan kedua

Kemanjaan berikutnya yang dinikmati Prabowo adalah dengan ditetapkannya secara resmi Prabowo sebagai capres oleh KPU, padahal secara etis hal itu dipertanyakan. Bayangkan seorang yang dalam dinas aktifnya sebagai tentara diberhentikan tetapi kemudian diterima sebagai calon Presiden yang bila terpilih ia akan memimpin institusi (TNI) yang pernah memecatnya tersebut! Namun karena tidak disadari atau disadari tetapi karena dukungan yang membabi-buta dari banyak pihak, kemanjaan itu diberikan. Kelak keputusan KPU untuk mensahkan dia sebagai capres akan membuat KPU sangat galau berhubung di saat terakhir Prabowo menggugat keputusan KPU yang menetapkan pemenang pilpres adalah Jokowi.

Kemanjaan ketiga

Kemanjaan yang diberikan kepada Prabowo masih berlanjut dengan dibiarkannya tindakan (berita dan ucapan) di kubu Prabowo yang memfitnah dan/atau melakukan tindakan yang tidak menyenangkan kepada Jokowi.

Ucapan-ucapan seperti yang dilakukan oleh Amien Rais yang menganalogikan pilpres sebagai Perang Badar sekaligus menganggap kubu Jokowi di pihak kaum kafir melawan kubu Prabowo yang dianggap representasi kubu Nabi Muhammad SAW. Dalam Perang Badar yang sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berperang melawan kaum Quraisy dan Bani Hamzah (tentu saja Hamzah yang ini tidak ada hubungannya dengan Fahri Hamzah).

Ucapan Fadli Zon menganggap bahwa Jokowi adalah komunis berdasarkan aktivitas Jokowi yang suka “blusukan” dan sifat Jokowi yang oleh pihak pendukungnya dianggap mewakili kaum lemah/kecil.

Ucapan yang juga merupakan tindakan tidak terpuji adalah ucapan yang dilakukan Fahri Hamzah yang menghina Jokowi “sinting” karena mengusulkan 1 Muharram sebagai hari santri nasional.

Ucapan/berita yang menyudutkan Jokowi dilakukan oleh media “Obor Rakyat” dengan berita-berita plintiran dan fitnahan terhadap Jokowi.

Ucapan dan berita yang meremehkan dan menghina Jokowi itu sejatinya merupakan pelanggaran hukum pidana yang dapat menyeret pelakunya ke meja hijau karena merupakan tindakan fitnah/perbuatan tidak menyenangkan yang diatur di dalam KUHP.

Lagi-lagi kemanjaan diberikan kepada kubu Prabowo karena pelanggaran hukum itu dibiarkan saja, kecuali yang menyangkut kasus “Obor Rakyat” yang hingga kini ujungnya tidak jelas.

Kemanjaan keempat

Pada 22 Juli 2014 ketika proses pemilu sudah sampai pada tahap penentuan pemenang pilpres, Prabowo berpidato yang disiarkan langsung oleh stasiun TV milik salah satu pendukungnya. Dalam pidatonya itu Prabowo menuduh KPU telah menyelenggarakan pemilu Presiden dengan curangn yang masif, terstruktur, dan sistematis pada pelaksanaan pemilu 2014.

Berdasarkan tuduhannya tersebut Prabowo menarik diri dari proses pemilu yang sedang berlangsung. Ia kemudian memerintahkan saksi-saksi Prabowo-Hatta di KPU yang sedang menyaksikan detik-detik penentuan Presiden terpilih untuk tidak melanjutkan proses tersebut.

Penarikan diri Prabowo dari proses pemilu itu sesungguhnya melanggar Undang-Undang No 42 Tahun 2008 terkait dengan Pemilihan Presiden serta Wakil Presiden pada Pasal 246, sosok Prabowo kemungkinan besar akan terancam dengan hukuman penjara 3 sampai 6 tahun lamanya. Namun dengan berbagai dalih dan opini penarikan diri Prabowo dianggap merupakan hak Prabowo sehingga tidak berimplikasi terhadap posisi hukum (legal standing).

Mahkamah Konstitusi sebagai institusi pun menganggap hal itu “biasa-biasa saja.” Bahkan hanya beberapa saat ketika KPU menetapkan Jokowi sebagai Presiden terpilih, MK memberikan kesempatan kepada pihak Prabowo untuk mengajukan permohonan gugatan kepada pihaknya. Pemberian kesempatan untuk menyampaikan gugatan itu langsung tersebar luas di running text televisi dan ini seolah-olah menyatakan “Ayo, anak manis jangan bersedih. Kamu minta apa lagi. Kalau kamu mau menggugat, buruan gugat sekarang…”

Sejatinya jika ditafsirkan secara langsung sesuai dalil hukum, dengan mengundurkan diri dari proses pemilu Prabowo melanggar UU Pilpres. Namun entah dengan niat yang tersembunyi seperti apa sehingga ia tetap memiliki legal standing di depan MK. Ini sebuah kemanjaan yang luar biasa.

Kemanjaan kelima

Puncak dari kemanjaan yang diberikan kepada kubu Prabowo adalah ketika pada persidangan gugatan PHPU di MK. Pada saat itu Prabowo berpidato yang intinya menyalahkan KPU, menuduh KPU melakukan kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistematis. Ia juga menyatakan bahwa pemilu 2014 di Indonesia merupakan pemilu yang sangat buruk dalam sejarah yang bahkan lebih buruk daripada pemilu di negara-negara yang tidak demokratis dan totaliter.

Tuduhan semacam itu sebetulnya bukan semata-mata ditujukan kepada KPU saja melainkan juga kepada Pemerintahan SBY dan kepada seluruh pihak yang terkait dengan pilpres 2014, termasuk kubu Jokowi. Namun sasaran tembak kubu Prabowo bukanlah kubu Jokowi sebagai pihak yang secara logika mestinya pihak pertama yang dituduh mencurangi pemilu. Sasaran tembaknya justru KPU tetapi tanpa menyebutkan motif dan bukti yang gamblang mengapa KPU curang.

Pihak negara dan rakyat Indonesia di mata dunia dirugikan oleh tuduhan Prabowo tersebut, sepertinya kondisi politik dan demokrasi di sini sangat bobrok (kalau tidak mau mengatakan paling bobrok) di seluruh dunia.

Kemanjaan seperti ini diberikan tanpa tindakan yang seharusnya menentang apa yang dituduhkan oleh kubu Prabowo itu. Semuanya seperti memaklumi kondisi psikologis dia yang labil dan ingin semua keinginannya dipenuhi dengan berbagai cara.

Mulai saat ini lebih baik semua pihak berhenti memberikan kemanjaan lagi dengan segala risikonya. Bangsa ini harus segera berpikir lebih jernih, dewasa, dan tegas. Jangan ada lagi kemanjaan-kemanjaan lain yang diberikan. Jangan ada lagi menenggang perasaan yang terlalu romantis. Karena, semua itu merupakan tindakan yang menumbuh-suburkan perilaku tidak legowo dan tidak ksatria dalam menyikapi kemengangan dan kekalahan dalam berkompetisi.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline